samudrafakta.com

Relasi ‘Saling Kunci’ Jokowi dan Prabowo, Apakah Bakal Jadi Fondasi Hubungan yang Awet dalam Politik?

Presiden Jokowi ketika menyematkan pangkat Jenderal Kehormatan (HOR) untuk Menhan Prabowo Subianto, Rabu (28/2/2024). (Dok. Instagram @jokowi)
Lawan yang sengit saat berkompetisi, rekan yang loyal saat bermitra. Barangkali itulah kalimat singkat yang tepat untuk menggambarkan relasi Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Relasi yang terjadi karena adanya indikasi ‘saling kunci’.

Belum hilang dalam ingatan kita pertarungan sengit Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019 antara Jokowi dan Prabowo. Namun, langkah ‘mengejutkan’ dilakukan Prabowo ketika bersedia menjadi pembantu Presiden Jokowi di kabinet, sebagai Menteri Pertahanan, pada tahun 2019. Rocky Gerung–dengan ‘curiga’–bahkan pernah menyebut gabungnya Prabowo ke dalam Kabinet Presiden Jokowi itu bisa memegang kendali istana, bahkan mengatur ulang semua personel istana.

Sementara mantan politisi PDIP, Maruarar Sirait, mengungkapkan hubungan antara Jokowi dan Prabowo seperti batu karang, bukan seperti pasir yang mudah tercerai berai tertiup angin. Itulah komentar pria yang akrab disapa Ara itu ketika Prabowo menerima pangkat istimewa Jenderal TNI (HOR) dari Presiden Jokowi.

“Hubungan Pak Prabowo dan Pak Jokowi itu kokoh seperti baru karang, bukan seperti pasir yang mudah tercerai berai tertiup angin,” kata Maruarar, yang juga Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, kepada wartawan, Kamis (29/2/2024).

Sementra itu, Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah, pernah menyebut jika hubungan Jokowi dan Prabowo sudah melampaui hubungan presiden dengan menteri. Fahri menyebut hubungan keduanya merupakan hubungan batin yang kuat.

Baca Juga :   Ini Perbandingan Belanja Iklan Meta Ad Capres, Prabowo Paling Royal, Anies Irit Banget

“Saya mau mengungkapkan satu hal, ya. Anda harus ngerti bahwa hubungan batin antara Prabowo dan Jokowi itu kuat sekali. Karena ini bukan soal baru, ini soal lama,” kata Fahri, saat diskusi “Adu Perspektif” yang diadakan detikcom dan Total Politik, pada Rabu, 12 Juli 2023 lalu.

Bagaimana relasi Prabowo-Jokowi bisa seperti itu–yang terkesan “sangat akrab” setelah berkompetisi dengan sangat sengit?

Barangkali salah satu alternatif jawabannya adalah karena keduanya ‘saling mengunci’. Beberapa narasi dan perilaku keduanya terkesan menunjukkan adanya upaya ‘jual-beli kunci’ tersebut.

Salah satu indikasi ‘upaya kunci-kuncian’ itu, misalnya, ketika Prabowo menyebut mantan Jokowi itu sebagai guru politiknya yang hebat. Prabowo melontarkan pernyataan tersebut secara terbuka dalam tayangan video yang diunggah oleh akun YouTube Mata Najwa. Prabowo, dalam berbagai kesempatan, juga sering menyatakan bahwa dia banyak belajar dari Jokowi.

Jannus T.H. Siahaan, Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran, Bandung, dalam tulisan Kuncian Politik Jokowi di Balik Bintang Empat Prabowo, yang dimuat kompas.com pada Rabu (29/2/2024), menyebutkan, langkah-langkah strategis politik Prabowo dalam mengunci dukungan Jokowi dalam Pilpres 2024 dimulai dari menyebar billboard bergambarkan Prabowo dan Jokowi secara masif di seluruh Indonesia.

Selain itu, ada juga upaya ‘mengunci’ Jokowi dengan meningkatkan intensitas kebersamaan Prabowo dan Jokowi. Dukungan awal Partai Gerindra kepada Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebelum Kaesang diparkir sebagai ketua umumnya; sampai pada langkah Prabowo menggandeng Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres), adalah ‘kunci-kunci’ lainnya.

Baca Juga :   Segini Perolehan Suara Sementara Caleg Artis, dari Aldi Taher hingga Ahmad Dhani

Langkah-langkah ‘kuncian’ Prabowo tersebut, menurut Jannus, melambungkan tingkat signifikansi Jokowi di mata Prabowo dan partai-partai politik pendukungnya. Sampai akhirnya, Prabowo pun ‘mengangkat status’ Jokowi di arena politik nasional, dari status “presiden petugas partai” menjadi “politisi handal” setara dengan “king maker” lainnya—seperti Megawati Soekarnoputri, Surya Paloh, dan Jusuf Kalla.

Menurut catatan Jannus, kekalahan dua kali dari Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019 membuat Prabowo banyak belajar. Maka dari itu, saat dia diajak bergabung ke dalam pemerintahan Jokowi pasca-Pemilu 2019, Prabowo berjuang habis-habisan mengapitalisasi posisinya sebagai bawahan Jokowi di dalam pemerintahan di satu sisi, dan mengapitalisasi besarnya pemilih Jokowi di luar Partai PDIP di sisi lain.

Beruntung bagi Prabowo, sebab semua strategi elektoral yang ia tempuh mendatangkan “rasa nyaman” tersendiri bagi Jokowi. Sang Presiden terlihat begitu menikmati posisinya yang barangkali dia merasa sangat ditinggikan oleh Prabowo.

Selama masa ‘pemanasan’ Pemilu beberapa bulan lalu, posisi penting Jokowi di  lingkungan politik yang disediakan oleh Prabowo seringkali dibanding-bandingkan dengan posisi subordinat dan perlakuan yang kurang etis dari PDIP terhadap Jokowi selama hampir sembilan tahun belakangan. Karena narasi perbandingan tersebut, banyak masyarakat yang menoleransi keputusan Jokowi mendukung Gibran menjadi Cawapres Prabowo di satu sisi; dan juga mendukung sikap Jokowi yang mengabaikan PDIP beserta Capres Ganjar Pranowo di sisi lain.

Baca Juga :   Menag Yaqut Berkali-Kali Sebut "Dua" di Acara Deklarasi Pemilu Damai

Prabowo pun akhirnya memilih Gibran sebagai Cawapres, kendati sebelumnya sudah melakukan banyak manuver politik dengan beberapa kandidat Cawapres 2024–seperti Ganjar Pranowo, Muhaimin Iskandar, Agus Harimurti Yudhoyono, Airlangga Hartarto, sampai Yusril Ihza Mahendra. Menurut pakar komunikasi politik Universitas Nasional, Lely Arrianie, pilihan itu diambil Prabowo karena Gibran memiliki relasi patron dengan Presiden Jokowi. Artinya, Prabowo memilih Gibran karena dia punya target menang di Pilpres 2024 dengan dukungan Jokowi—yang memiliki tingkat kepuasan publik 82 persen.

“Akomodasi terhadap Gibran, saya pikir, itu lebih pada karena dia adalah putranya Pak Jokowi, yang dianggap punya kompetisi lebih luas ketimbang yang lain-lain. Karena di belakangnya ada Pak Jokowi, tentu mesin partai enggak bisa kita abaikan,” ucap Lely, dikutip Kamis (29/2/2024).

Di sisi lain, menurut Lely, terpilihnya Gibran sebagai Cawapres Prabowo mencerminkan jika parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) krisis kader, sehingga ‘terpaksa’ mengusung Gibran, yang notabene masih tercatat sebagai kader PDI Perjuangan–partai di luar koalisi.

Artikel Terkait

Leave a Comment