Donan Satria Yudha tidak pernah menduga langkah kecilnya di sebuah ekspedisi militer lebih dari satu dekade lalu akan berbuah penemuan besar. Dia menemukan, kadal buta tak bertungkai. Seperti apa kisahnya?
_________________
Kisah bermula pada 2013. Dosen sekaligus peneliti Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada itu bersama tim kolaborator dari BRIN mengikuti Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi 2013 yang digagas Kopassus TNI AD. Seorang mahasiswa Fakultas Biologi UGM yang ikut menggali tanah menemukan sosok kadal aneh tanpa kaki. Rupa hewan itu berbeda dari spesies yang biasa mereka lihat. “Sampel itu lalu dikirim ke saya di Laboratorium Sistematika Hewan, Fakultas Biologi UGM,” kenang Donan, Kamis (11/9).
Sampel misterius tersebut kemudian diteliti Donan bersama Awal Riyanto, herpetolog senior dari LIPI—kini peneliti di BRIN. Penelitian makin lengkap ketika mahasiswa bimbingannya, Maximilianus Dwi Prasetyo, menjadikan kadal itu sebagai bahan skripsi. “Penelitian Mas Maxi yang saya bimbing ini kemudian dibantu oleh Bapak Thasun Amarashinge dari BRIN beserta kolega beliau. Akhirnya teridentifikasi sebagai spesies baru dan diterbitkan dalam jurnal tersebut,” ujar Donan.
Identifikasi tidak mudah. Donan menjelaskan, spesies baru ini memiliki ciri morfologi yang membedakannya dari kadal buta genus Dibamus lain. Bagian kepala menjadi pembeda paling jelas. Pada rostral (moncong) tidak tampak sutura (garis pemisah) di bagian medial dan lateral. Sutura di labial dan nasal justru lengkap. Sisik frontal lebih besar dari frontonasal, sementara sisik interparietal lebih kecil. “Sisik nuchal berjumlah 4–6, sisik postocular dua buah, sisik supralabial satu. Masih ada karakter pembeda lain di badan dan ekor,” papar Donan.
Namun, penemuan ini bukan sekadar kabar gembira. Donan mengingatkan bahwa Dibamus oetamai rentan terancam. Spesies tersebut hanya ditemukan di Pulau Buton, tepatnya di kawasan hutan lindung Kakenauwe dan Lambusango, pada ketinggian di bawah 400 mdpl. Habitat alaminya berupa hutan hujan musiman dengan serasah daun yang tebal. “Kemungkinan besar kelestarian spesies ini terancam di masa depan karena hidupnya bergantung pada hutan,” jelasnya.
Ia menegaskan, penemuan spesies baru menjadi penanda betapa kaya dan rapuhnya keragaman hayati Indonesia. Masih banyak jenis yang menunggu ditemukan, terutama di pulau-pulau kecil. Donan berharap hasil riset ini bisa membuka mata pemerintah. “Jika memungkinkan, saya ingin memberikan masukan agar hutan tidak dibuka untuk aktivitas manusia. Masih banyak spesies baru yang hidup di dalamnya, termasuk di Pulau Buton,” pungkasnya.***





