samudrafakta.com

Menggali Akar Sukarno di Jawa Timur

Melalui rubrik “Jelajah Fakta”, Samudra Fakta mengajak pembaca untuk menjenguk situs-situs luar biasa penting negeri ini yang sayangnya dipojokkan oleh sejarah. Salah satunya adalah Ndalem Pojok, tempat di mana gagasan nasionalisme lahir dan Pancasila digali.

“Sejarah berasal dari kata ‘syajarotun’ yang berarti ‘pohon’. Pohon memiliki akar. Pohon dapat hidup karena akar yang tumbuh. Dari akar mencari kehidupan, mengapa kita ada, untuk apa kita hidup, dan mau ke mana kita. Siapa kita (man ana), dari mana kita (min aina), kita mau ke mana (ila aina).” —Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj, M.A.

Belajar sejarah itu penting. Tak kalah pentingnya dari belajar sains, ekonomi, kimia, metaverse, bahasa Inggris, bahasa Mandarin, belajar mencintaimu, sampai belajar melupakan mantan terindah.

Sejarah akan menjadi dogma andai dibaca dengan cara biasa. Dia menjadi ilmu yang menjemukan jika hanya menyajikan momen-momen terbatas, pahlawan dan tokoh yang di-framing sedemikian rupa, atau hafalan tanggal dan tahun.

Baca Juga :   Ario Abdillah, Ahli Mesiu Majapahit Penyebar Islam di Palembang

Sungguh disayangkan—dan sayangnya itu fakta—bahwa pelajaran sejarah di republik ini hanya mengakui sejarah-sejarah ala sejarawan kampus, sejarah a person, dan kurang menganggap sejarah-sejarah tutur lisan, kajian sejarah dari hasil kungkum (berendam untuk tujuan spiritual—pen.), semadi, dan berdialog dengan manusia-manusia masa lalu yang dianggap sudah tiada. Sejarah versi non person seringkali dianggap klenik, informasi meracau dan ngawur,  tidak ilmiah karena tidak ada jejak arkeologis, dan seterusnya, dan selainnya.

Salah satunya adalah soal akar sejarah Kusno alias Sukarno, Presiden Pertama Republik Indonesia. Nama besar Sukarno jelas diakui seluruh dunia. Diamini oleh para pengagumnya dan pembencinya; para Sukarnois maupun para pendengung de-Sukarno-isasi. Lepas dari kontroversi yang menyelimuti perjalanan hidupnya, Sukarno tetaplah orang besar. Besar cita-citanya, besar ide dan gagasannya, besar pula kecintaannya terhadap Tanah Air. Bangsa Indonesia semestinya, minimal, mau mempelajari manakib-nya, dan sekuat tenaga mewarisi serta mengamalkan segenap ajaran dan kebaikan yang melekat pada dirinya.

Kita tidak harus memuji karena Sukarno bukan nabi. Namun, kita juga tidak boleh menghina karena dia bukan durjana. Bung Karno tidak akan lebih agung meski dijunjung-junjung. Sang Singa Podium Penyambung Lidah Rakyat tidak akan menjadi kecil meski dianggap kerdil. Sukarno adalah Sukarno. Titik. Terima saja dia apa adanya. Jangan ditambahi, dikurangi, apalagi didistorsi.

Baca Juga :   Pancasila adalah Ideologi Terhebat yang Lahir dari Pemikiran Panjang dan Tertata

Memasuki belantara Sukarno ibarat memeras spons basah. Setiap kali kita memerasnya dengan sekuat tenaga dan tandas agar kembali kering, ternyata keluar lagi sisa-sisa air—terus dan terus begitu.

Sukarno adalah salah satu abnauz zaman, anak zaman, ratuning jagad, sebagaimana qaul supatha ayah angkatnya, R.M.P. Soemosewojo: “Bocah iki mbesok bakal dadi kembange jagad (Anak ini kelak akan menjadi bunga dunia)”. Namun, pernyataan ini ditentang oleh R.M.P Soekeni Sosrodihardjo, ayah kandungnya. Karena, menurut filsofi Jawa, “kembang jagad” berkonotasi kurang baik, seperti ungkapan “kembang lambe (bahan pembicaraan orang)” atau  “kembang amben (orang sakit yang tergeletak di tempat tidur)”.

Artikel Terkait

Leave a Comment