samudrafakta.com

Lelakon Oppenheimer: Ketika Ilmu Pengetahuan Harus Tunduk di Bawah Kaki Kekuasaan

Lelakon Julius Robert Oppenheimer (1904-1967), perakit bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, merekam kisah pahit tentang ilmu pengetahuan yang hidup dalam cengkeraman politik.

Gairah menyelami alam semesta untuk mencari kebenaran demi kesejahteraan umat manusia terbentur oleh tembok kekuasaan yang mengusung ideologi praksis dan semangat saling tumpas dengan sesama.

Oppenheimer adalah fisikawan keturunan Yahudi dari Amerika Serikat. Dia merupakan salah satu tokoh Proyek Manhattan selama Perang Dunia II yang bertugas untuk memproduksi bom atom pertama.

Oppenheimer lahir di New York, Amerika Serikat, dan belajar fisika di Harvard (AS), Cambridge (Inggris), serta Goettingen (Jerman). Ia menerima gelar Ph.D. pada 1927 di bawah bimbingan Max Born di Universitas Gottingen—yang saat itu merupakan pusat pengembangan mekanika kuantum. Dua tahun setelah menyandang Ph.D, dia secara berturut-turut membangun sekolah fisika teoretis di Institut Teknologi California dan di Berkeley.

Selama 1930-an Oppenheimer banyak menyumbangkan pemikiran dalam fisika atom dan nuklir. Termasuk pikiran mula mengenai bintang neutron dan lubang hitam yang ketika itu sudah sangat lama sekali diabaikan oleh para astronom.

Baca Juga :   Nanas Madu Ada karena “Naturalisasi” yang Tak Disengaja

Selama Perang Dunia (PD) II, Oppenheimer ditunjuk oleh Pemerintah AS melalui militer dan Atomic Energy  Comission—atau Komisi Energi Atom—untuk memimpin program bom. Program yang dipacu di untuk keperluan pertahanan sekaligus perlombaan teknologi nuklir dengan Rusia.

Dia menjalankan misi tersebut di sebuah lokasi proyek rahasia yang sengaja dibangun oleh militer AS di Los Alamos, New Mexico. Di lokasi proyek sains sekaligus militer rahasia inilah Oppenheimer mempersembahkan “mahakaryanya”: bom atom.

Setelah bom atom tersebut dijatuhkan oleh AS di Jepang pada tahun 1945, dan membunuh puluhan ribu orang, Oppenheimer menyesali pekerjaannya. Sebab, bukan itu tujuannya dalam memecahkan misteri kuantum alam semesta. Dia ingin tekonologi sains temuannya berfaedah buat banyak orang, bukan malah menghancurkan mereka. Ilmu pengetahuan ada untuk membangun manusia, bukan malah menghancurkannya. Maka, dia pun menyerukan agar energi atom digunakan untuk kepentingan damai.

Pada tahun 1947 didaulat menjadi direktur Institute of Advanced Study di Princeton, New Jersey. Namun, di masa-masa itu dia mendapat banyak musuh—baik dari unsur Pemerintah AS, politisi, maupun sesama ilmuan—karena giat mengampanyekan pengendalian energi atom internasional dan menentang pembuatan bom hidrogen.

Baca Juga :   Arkeolog Jatim Temukan Benda-benda Ini di Situs Gondang Trenggalek

Dia nekat menyampaikan pandangannya itu langsung kepada Presiden AS kala itu, Harry S. Truman, yang menemuinya di White House. Namun, pandangannya malah membuat Sang Presiden ‘tersinggung’ sehingga “tidak mau lagi melihat muka si cengeng Oppenheimer”.

Hingga akhirnya, pada 1954 Atomic Energy Commission menyatakannya sebagai “orang yang harus diamankan”. Komisi bekerja sama dengan politisi dan media Amerika untuk membuat framing negatif terhadap Oppenheimer—bahkan menuduhnya beraliansi dengan kekuatan komunis Rusia.

Kesetiannya terhadap negara dipertanyakan. Kredibilitasnya dihancurkan. Hingga akhirnya dia diajukan ke hadapan sidang pemeriksaan untuk pejabat tinggi AS, yang mengakibatkan jabatannya sebagai penasihat pemerintah di bidang keamanan dilepas. Banyak ilmuwan yang merasa puas pada tindakan yang timbul pada saat histeria nasional yang dipimpin senator Joseph Raymond McCarthy itu.

Namun, untungnya, ketika itu seorang senator muda yang rupanya punya pengaruh kuat memberikan dukungan penuh terhadap Oppenheimer. Namanya John Fritzgerald Kennedy—yang di kemudian hari berhasl menjadi Presiden Amerika, namun terbunuh tak lama setelah menjabat.

Baca Juga :   Pesan Penting dari Peci Miring Sukarno

Pada 1963, Komisi Energi Atom menyadari tindakannya yang tidak adil kepada Oppenheimer, dan mengusulkan agar dia menerima Penghargaan Enrico Fermi. Penghargaan itu diserahkan langsung oleh Presiden Lyndon Baines Johnson—pengganti Kennedy yang tewas ditembak.

Kisah Oppenheimer memberikan gambaran fakta yang berlangsung dalam kehidupan manusia di muka bumi ini: bahwa segala hal apa pun—termasuk ilmu pengetahuan yang secara idealis seharusnya ‘bebas nilai’—harus patuh pada kekuasaan politik.

(Farhan | Dirangkum dari Berbagai Sumber)

Artikel Terkait

Leave a Comment