samudrafakta.com

KH. Wahid Hasyim (1): Anak Muda Pesantren Paling Progresif pada Zamannya

Dari sekian banyak tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Wahid Hasyim bin Hasyim Asy’ari bisa dikatakan merupakan tokoh muda NU–yang berasal dari pesantren tradisional–paling progresif di zamannya. Perannya sangat signifikan dalam lintasan sejarah organisasi kemasyarakatan (ormas) berbasis agama ini. Setiap peran dan perjuangannya memunculkan dinamika paradigmatik dan movement oriented.

Wahid Hasyim menunjukkan demonstratifnya metode berpikir sebagai seorang cendekia-negarawan santri dalam memandang ragam dinamika untuk mencapai keadilan bersama.

Tak seperti tokoh-tokoh NU dan para gus—sebutan untuk putra kiai di pesantren—lainnya yang dibesarkan dalam suasana sosial-religius Islam, Wahid Hasyim menampakkan sikap yang tak ingin hanya berkutat di persoalan kitab kuning saja. Dia dobrak anggapan kaum tradisional saat itu, yang memandang bahwa atmosfer pendidikan pesantren saja sudah cukup, tak perlu memasukkan pengetahuan Barat.

Kiprah Wahid Hasyim banyak direkam dan ditulis sahabat dekatnya, Saifuddin Zuhri, dalam dua buku: Guruku Orang-orang dari Pesantren dan Berangkat dari Pesantren. Saifuddin Zuhri, yang didapuk sebagai Menteri Agama periode 1963-1967,terpengaruh oleh ide-ide nasionalisme Wahid Hasyim.

Baca Juga :   PKB Tetap Pede Kendati Hasil Survei Sebut Mereka Bukan Partai Favorit Warga NU

Menurut Ketua Lesbumi NU M. Jadul Maula, KH. Hasyim Asy’ari dan putranya, Abdul Wahid Hasyim, merupakan dua sosok yang memiliki peran unik. “Hasyim Asyari adalah penjaga kemurnian ideologi NU, sedangkan Wahid Hasyim merupakan sosok yang punya kekuatan pembaharuan dalam NU. Kombinasi keduanya menjadikan NU organisasi yang besar. Kombinasi keduanya inilah yang saat ini hilang dari tubuh NU,” katanya, dikutip Senin, 25 September 2023.

Menurut Jadul, pada masa kini tak ada sosok panutan yang bisa menjaga kemurnian dan menjadi pembaharu NU sekaliber duet ayah-anak Hasyim Asy’ari- Wahid Hasyim. “Pembenahan yang harus dilakukan adalah pembenahan jati diri. Jika tidak, maka masyarakat akan mudah dijajah oleh pihak lain.” jelasnya.

Sedangkan sejarawan NU Ahmad Baso menilai, ketika membicarakan Wahid Hasyim, yang menjadi titik tekan adalah ideologi, bukan nasab. Wahid Hasyim menjadi besar bukan semata-mata karena dia putra seorang kiai besar. “Kiai Wahid Hasyim adalah salah seorang perumus Islam kebangsaan NU, dengan basis integrasi ideologis Islam dan kenusantaraan,” kata Ahmad Baso.

Baca Juga :   Gus Nadir Beberkan Fakta Ada Instruksi PBNU Untuk Mendukung Prabowo-Gibran

Dalam Muktamar NU di Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 1952, Wahid Hasyim mengampanyekan penguatan ideologi ke-NU-an menggunakan istilah “kolektif”, “kooperatif, dan “integral” dalam karakter moralitas individualnahdliyin; serta istilah “pembagian”, “pemerataan”, dan “perlindungan” dalam karakter moralitas sosial-kebangsaan kaum santri.

Gagasan Wahid Hasyim tersebut, menurut Ahmad Baso, merupakan konstruksi ideologis  ke-NU-an yang penting untuk digarisbawahi. Pasalnya, kini  banyak  orang  bicara “perlindungan”—misalnya perlindungan minoritas, perlindungan perempuan,  perlindungan  buruh,  perlindungan korban, dst—namun dalam praktiknya mengabaikan aspek isu-isu ekonomi-politik strategis. Padahal, kata Baso, itu-isu tersebut seharusnya dinomorsatukan dalam wacana perlindungan itu.

“Karena itu, harus ada kader-kader NU yang bisa menguasai pos-pos strategis pembagian dan  pemerataan dalam kebijakan ekonomi-politik nasional, bukan cuma ahli wacana yang moderat-moderat,” jelas Ahmad Baso.

Artikel Terkait

Leave a Comment