samudrafakta.com

KH. Moch. Muchtar Mu’thi (2): Keturunan Nabi yang Membawa Pembaharuan Pengajaran Tarekat

Apa yang diramalkan kakek Nasikhah rupanya menjadi kenyatan. Sebab, di kemudian hari, Muchtar Mu’thi—putra Nyai Nasikhah—memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan sosial-religi masyarakat Jombang, khususnya daerah Losari, dengan Tarekat Shiddiqiyah yang didirikannya.

Muchtar kecil berbeda daripada kebanyakan anak sebayanya. Dalam tulisan Sepenggal Kisah Kiai Tar (Syaikh Muhtarullah Al Mujtaba Qoddsallah Sirruhuu), Muchtar Mu’thi dikisahkan sebagai anak yang tak punya rasa takut. Dia tidak takut hantu.

Tulisan tersebut menceritakan, pada suatu malam, saat mencari jangkrik, Muchtar melewati makam. Di situ diamenemukan jangkrik besar dan aneh, memakai topi warna merah seperti boneka, dan kepalanya bergerak-gerak.Bukannya kabur, dia malah berusaha menangkap jangkrik itu.

Di saat yang lain, Muchtar kecil bertemu hantu yang menyerupai orang dewasa memakai kaos motif garis merah putih, seperti pakaian tradisional Madura. Kendati tahu itu hantu, Muchtar tidak takut. Dia tidak kabur.

Pernah suatu kali Muchtar kecil disuruh oleh laskar Indonesia untuk menggoda polisi Belanda. Muchtar dijanjikan bakal diberi uang jika dia berani meneriakkan, “Londo, alon-alon mbondo (pelan-pelan menjerat—red)”, di depan polisi Belanda. Maksudnya untuk mengejek. Dan Muchtar kecil benar-benar melakukannya. Alhasil, polisi Belanda yang dia teriaki marah dan mengejarnya. Muchtar lari masuk rumah dan sembunyi di bawah kolong tempat tidur.

Baca Juga :   Siapa Bilang Semboyan “Cinta Tanah Air Sebagian dari Iman” Tak Ada Dalilnya?

Muchtar kecil juga dikenal cerdik. Biasanya dia harus selalu ikut ke mana saja ibunya, Nyai Nasikhah, pergi. Suatu ketika, ibunya sengaja pergi diam-diam tanpa sepengetahuan Muchtar. Namun, rencana itu rupanya diketahui Muchtar,setelah dia mendapati baju ibunya, yang biasanya dipakai bepergian, tidak ada. Muchtar pun bergegas memutari rumah, menyusuri sawah, dan mencegat ibunya di jalan. Mak Nyai kaget, tetapi bahagia melihat kecerdikan anaknya.

Riwayat Pendidikan dan Nyantri

Dalam buku A. Munjin Nasih, Sepenggal Perjalanan Hidup Sang Mursyid Kiai Muchammad Muchtar Bin Haji Abdul Mu’thi (Jombang: Al-Ikhwan, 2006), Muchtar Mu’thi diceritakan memulai pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Ngelo, Jombang, yang berjarak 2 km sebelah selatan Losari. Selama sekolah di Ngelo, dia suka pelajaran menulis huruf Al-Quran dan menghafalkannya. Di masa itu dia hafal enam juz Al-Quran.

Selesai sekolah di Ngelo, Muchtar yang telah berusia 15 tahun lanjut nyantri ke Pesantren Rejoso—sekarang Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang—selama enam bulan. Rupanya Muchtar lebih pandai daripada teman-teman, bahkan seniornya di Rejoso. Di pesantren tersebut Muchtar semakin tertarik untuk menghafal Al-Quran. Walhasil, selama di Rejoso, dia menambah hafalannya hingga 12 juz. Jika ditotal dengan hafalan sebelum mondok, enam juz, maka dia hafal 18 juz.

Baca Juga :   Si Jenius R.M.P Sosrokartono [3]: Penasihat Spiritual Sukarno, Mandor Klungsu, dan Joko Pring Si ‘Peramal’ Jitu

Dari Rejoso dia pindah ke Pesantren Bahrul ‘Ulum, Tambak Beras, Jombang. Di sini dia juga banyak menghabiskan waktunya untuk menghafal Al-Quran. Muchtar juga mempelajari sejumlah kitab, antara lain kitab Taqrib, Nahwu dan Sharaf, dan Tafsir Jalalain di bawah asuhan KH. Abdul Hamid Chasbullah, kakak KH. Wahab Chasbullah, salah satu pendiri NU. Dia juga mendaras kitab Hadits Shahih Bukhari di bawah asuhan Kiai Fattah; juga kitab Fathul Mu’in dibawah asuhan Kiai Masduqi.

Muchtar menghabiskan waktu delapan bulan di Tambah Beras. Kendati masanya nyantri cukup pendek, namun pengalaman belajar di pesantren memberinya makna pada kehidupan selanjutnya.

Pesantren Darul Ulum, Tambak Beras, rupanya punya kesan khusus bagi Muchtar. Setelah keluar dari sana pun dia tetap berusaha menyambung komunikasi dengan Pesantren. Biasanya dia datang di bulan Ramadhan, pada momentum ngaji pasan—semacam pesantren kilat selama bulan puasa, atau pasa dalam bahasa Jawa. Tar rupanya berusaha tetap bisa menjadi santri di Tambak Beras meskipun hanya satu bulan.

Baca Juga :   DHIBRA Gelar Santunan Nasional untuk Membangun Kejayaan Indonesia

Pendidikan Tar di dunia pesantren berakhir ketika keluarganya ditimpa masalah ekonomi. Begitu keluar dari pesantren, di usianya yang masih remaja, Tar menjadi tulang punggung keluarganya.

Artikel Terkait

Leave a Comment