Murid Kesayangan KH. Abdul Hamid Chasbullah, Adik KH. Wahab Chasbullah

Jejak riwayat Pemimpin Tarekat Shiddiqiyyah, Kiai Muhammad Muchtar Mu’thi atau Kiai Tar, erat dengan kisah ulama-ulama besar dan pondok-pondok Nahdliyin yang banyak tersebar di Jombang—kendati dia memilih untuk menempuh tarekatnya sendiri, tidak ikut jalan Nahdlatul Ulama (NU).

Pasca “dikeluarkan” dari Pesantren Njoso (Rejoso) karena kenakalan khas anak-anak, pada awal tahun 1940-an, Kiai Tar nyantri di Tambakberas. Dia habiskan waktu selama delapan bulan di Pesantren yang identik dengan Kiai Wahab Chasbullah, ayah Bupati Jombang periode 2018 – 2023 Munjidah Wahab itu.

“Transfer” Kiai Tar dari Rejoso ke Tambakberas berlangsung di era penjajahan Jepang, ketika semua pondok di Jombang ditutup oleh Pemerintahan Dai Nippon, termasuk Pesantren Tebuireng. Kala itu hanya dua pesantren yang tidak kena “segel” Jepang, Njoso dan Tambakberas.

Ketika di Tambakberas, Kiai Tar sempat ikut latihan baris-berbaris dan pengkaderan Prajurit Tanah Air atas perintah para kiai. Ada juga informasi bahwa Kiai Tar sempat bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Tambakberas ketika kelas 3.

Kala Kiai Tar datang ke Tambakberas, dia diterima langsung oleh Kiai Hamid Chasbullah. Kiai Hamid adalah putra kedua Kiai Chasbullah Said, adik Kiai Wahab Chasbullah. Kiai Tar langsung menjadi salah satu santri kinasih Kiai Hamid. Kiai Hamid memiliki peran cukup sentral dalam perkembangan Pondok Pesantren Bahrul Ulum. Kedekatannya dengan masyarakat Tambakberas sangat layak jadi inspirasi.

Bacaan Lainnya

Kiai Hamid dikenal tekun beribadah. Dia tak banyak muncul ke ranah publik untuk hal di luar urusan agama. Kiai Hamid berbagi jobdesk dengan kakaknya dan Mbah Abdurrokhim. Kiai Wahab konsentrasi di luar untuk membesarkan NU dan terlibat perpolitikan hingga pergerakan nasional; Kiai Abdurrokhim mengurusi perkembangan madrasah; sementara Kiai Hamid mengurusi pengajian pondok dan mengimami shalat lima waktu.

Di antara alasan Kiai Tar mondok di Tambakberas, sebagaimana ditulis oleh Gus Syifa Malik dalam buku Tambakberas Menelisik Sejarah Memetik Uswah (Pustaka Bahrul Ulum, edisi ketiga, 2020) adalah: “Termasuk kenapa saya memilih mondok di Tambakberas, karena angan-angan saya dalam hati, Njoso adalah “darul ulum” yang artinya “rumahnya ilmu”. Denanyar adalah mambaul ulum (maksudnya mambaul maarif—pen), artinya “sumber ilmu”. “Rumah” bisa kegusur, keterjang. Demikian pula “sumber”, juga bisa asat (kering), habis sumbernya. Tetapi kalau “bahrul” atau “lautan” tidak pernah bisa habis airnya maupun ikannya. Makanya saya terus mantap di Bahrul Ulum. Tetapi saya tidak berani bilang ke orang tua yang menghendaki saya mondok di Njoso. Tetapi, akhirnya saya pindah ke Tambakberas, sampai akhirnya menemukan sosok guru Hadratussyaikh Kiai Hamid.”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *