samudrafakta.com

Gagal Mitigasi Dibilang Berkah

Salus populi suprema lex esto—keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi.” Kredo yang dipopulerkan oleh Cicero berabad-abad lampau ini umumnya dijadikan azas oleh negara-negara modern—termasuk Indonesia—untuk menjaga keselamatan rakyatnya. Namun, fakta-fakta yang berlangsung di negara ini cenderung menunjukkan hukum tertinggi itu masih belum dijunjung. Upaya mitigasi tak teraplikasikan dengan sempurna, seperti yang terjadi pada kematian beruntun gagal ginjal akut pada anak.  

Hingga awal November 2022, tercatat ada 195 anak meninggal dunia akibat gagal ginjal akut. Ratusan keluarga mengalami kerugian materiil dan imateriil ketika harus kehilangan anak-anak mereka secara mendadak.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sepakat jika bala itu terjadi akibat cemaran zat beracun etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dalam obat sirup yang beredar luas di pasaran. Polisi sudah bergerak dan menetapkan beberapa produsen obat sebagai tersangka.

Belakangan BPOM juga mengeluarkan daftar obat sirup yang boleh beredar dan tidak. Namun, upaya ini sebenarnya terlambat. Semestinya langkah mitigasi terhadap beredarnya obat berbahaya itu dilakukan sejak awal, bukannya setelah ada kejadian. Sebab, kejadian keracunan obat seperti ini bukan untuk pertama kalinya terjadi di muka bumi. Bukan hal baru yang semestinya bisa dicegah sejak jauh hari.

Keluarga korban pun terus berusaha mencari keadilan atas musibah yang menimpa mereka gegara kecerobohan instrumen negara dalam melakukan pengawasan. Ironisnya, di sela huru-hara dan ketakjelasan nasib keluarga korban, Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito—dalam acara podcast di kanal Youtube Dedy Corbuzier, Kamis, 24 November 2022—menilai bencana ini sebagai “blessing of disguise” alias “berkah”. Dua kali dia ucapkan frasa tersebut.

Baca Juga :   Si Peminum Air Cengkir

Penny menyebut bencana ini sebagai berkah karena dengan adanya bencana tersebut praktik mafia peredaran obat berbahaya bisa terbongkar. Sudah, cukup itu saja. Tidak ada sikap yang lebih “manusiawi” sebagai pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas hilangnya nyawa ratusan anak-anak dalam waktu singkat itu. BPOM terkesan mengentengkan kesalahan fatalnya.

Keluarga korban tak juga mendapatkan keadilan. Ketika keadilan itu tak bisa dihadirkan negara, mereka mencari jalannya sendiri. Sejumlah advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Untuk Kemanusiaan turun tangan, mewakili sejumlah orang tua yang anak-anaknya menjadi korban. Mereka ajukan gugatan class action kepada pemerintah dan perusahaan obat karena dinilai gagal melindungi warga negara.

“Negara semestinya bertanggung jawab memberikan keadilan dan ganti kerugian yang layak bagi para korban. Gugatan ini menjadi penting dilakukan, sekaligus menjadi peringatan bagi pemerintah dan perusaahaan obat agar tak main-main dengan nyawa manusia,” ujar Tegar Putuhena, salah satu anggota Tim Advokasi, Selasa (29/11/2022).

Tegar menyayangkan pernyataan Kepala BPOM yang memandang tragedi ini adalah “berkah”. “Ratusan anak meninggal dunia karena keracunan, di mana berkahnya?” tegas Tegar.

Tim Advokasi menilai, selain Kemenkes dan BPOM sebagai representasi pemerintah, produsen obat dan pemasok bahan juga harus ikut bertanggung jawab. “Pihak swasta harus turut memikul beban kesalahan ini. Produsen obat harusnya melakukan quality check sebelum obat diedarkan. Kemudian, saat beredar, semestinya ada quality control yang juga ketat. Di saat yang sama, pemasok bahan obat juga harus memastikan keamanan bahan yang disediakan, serta memenuhi standar mutu dan keselamatan konsumen,” imbuh Tegar. Maka dari itu, ada sembilan pihak yang menjadi tergugat, terdiri dari unsur pemerintah dan swasta.

Baca Juga :   Berkat Kecerdasan Buatan, Manusia Cukup Bekerja 3 Hari dalam Seminggu

Tim menilai bahwa kejadian hilangnya ratusan nyawa anak ini menunjukkan betapa pemerintah dan perusahaan obat abai atas keselamatan masyarakat. “Gugatan class action ini didasarkan pada penilaian kami, bahwa seharusnya peristiwa kelam ini bisa dicegah andai pemerintah dan pihak swasta benar-benar memiliki itikad baik,” kata Tegar.

Menurut catatan Tim Advokasi, peristiwa serupa bukan baru pertama kali ini terjadi di dunia. Setidaknya, sejak tahun 1990 telah terjadi peristiwa keracunan zat EG dan DEG yang tersebar di berbagai negara, di antaranya Nigeria pada tahun 1990 (40 anak meninggal); Bangladesh pada tahun 1990-1992 (339 anak meninggal); Argentina pada tahun 1992 (29 anak meninggal); Haiti pada tahun 1995-1996 (109 anak meninggal); Panama pada tahun 2006 (219 meninggal); dan Nigeria tahun 2008 (84 anak meninggal).

Ironisnya, meski sudah pernah ada preseden sejak 30 tahun lalu, pemerintah—dalam hal ini Kemenkes dan BPOM—tampak kaget menghadapi peristiwa yang jelas tidak baru ini. Bahkan BPOM justru mencoba lari dari tanggung jawab dan menyatakan ketidaksiapan menghadapi kejadian ini, dengan alasan tidak ada standar internasional mengenai pembatasan zat EG DEG.

“Sejumlah dokumen yang kami miliki justru menunjukkan fakta sebaliknya, di mana  pemerintah, melalui BPOM, telah memiliki kebijakan dan sistem yang menjamin proses pembuatan obat di Industri farmasi telah dilakukan dengan baik. Sistem pengamanan terhadap masuknya zat berbahaya dalam industri farmasi juga telah dilakukan sedemikian rupa, sehingga sistem pengamanan ini harusnya berjalan dengan maksimal. Seharusnya sistem ini sejak awal mampu mencegah, mengingat kasus yang sama sudah terjadi sejak puluhan tahun sebelum di Indonesia. Hal ini merupakan salah satu yang kami utarakan dalam gugatan class action,” papar Awan Puryadi, anggota Tim lainnya.

Baca Juga :   Gagal Ginjal setelah Minum Obat Sirup yang Dinyatakan Aman oleh BPOM

Semestinya perusahaan-perusahaan produsen obat sirup yang mengandung EG dan DEG sudah mengikuti pedoman cara pembuatan obat yang baik, serta melakukan pengamanan penggunaan zat berbahaya. Seharusnya lagi, menurut Awan, perusahaan farmasi bisa memastikan jika seluruh sistem produksi obat dan produk obat yang dihasilkan aman bagi kesehatan manusia. “Sayangnya, perusahaan-perusahaaan farmasi ini justru menggunakan bahan obat yang mengandung zat beracun EG dan DEG dengan kandungan yang sangat tinggi,” imbuh Awan.

“Kami menilai, banyaknya anak meninggal dunia akibat obat yang diedarkan secara resmi mengindikasikan adanya masalah dan dugaan permainan di balik ini semua. Demi keuntungan bisnis, keselamatan warga terabaikan. Negara dan perusahaan wajib bertanggungjawab atas masalah ini demi terpenuhinya keadilan bagi korban,” tegasnya.

Untuk menindaklanjuti upaya ini, Tim Advokasi untuk Kemanusiaan akan mengadakan media briefing pada hari Rabu, 30 November 2022, di Café Sadjoe, Jl. Prof. Dr. Soepomo, Tebet, Jakarta Selatan.

(Pram | Toni)

Artikel Terkait

Leave a Comment