samudrafakta.com

Dialektika Bapak-Bapak Bangsa (1): Pasang-Surut Relasi Sukarno-Tan Malaka

Sukarno dan Tan Malaka adalah dua Bapak Bangsa yang sama-sama serius memperjuangkan Indonesia. Namun, sejarah negara ini merekam bahwa keduanya tak selalu satu lajur. Tan memilih jalur konfrontasi, sementara Sukarno istikamah dengan jalur diplomasi. Pernah bersepakat kerja sama, namun tak berakhir bahagia.

Tan Malaka dikenal sebagai pejuang yang tidak mau kompromi dengan penjajah. Non-kooperatif.

Maka dari itulah ketika Sukarno—dengan berbagai pertimbangan politisnya—memilih berkompromi dengan Pemerintahan Militer Jepang menjelang Kemerdekaan Indonesia, Tan kecewa. Dia tak ingin kemerdekaan didapatkan dari belas kasih penjajah. Bagi dia, kemerdekaan Indonesia harus diraih dengan perjuangan Bangsa Indonesia sendiri.

Menurut Tan Malaka, Sukarno telah memilih jalan yang tak disukainya. Sukarno dinilainya memelas pada penjajah. Bagi Tan, dialog dengan penjajah, baik Belanda maupun Jepang, baru bisa dilakukan jika kemerdekaan Indonesia telah diakui secara penuh dan penjajah pergi dari Tanah Air.

Tan Malaka sendiri sebenarnya mengagumi pemikiran Sukarno yang dinilainya sangat nasionalis. Namun, seiring bergulirnya roda sejarah, Tan menilai bahwa idealisme Sukarno mengenai patriotisme untuk meraih kemerdekaan Indonesia luntur seketika kala militer Jepang masuk ke Tanah Air.  Kekecewaan Tan Malaka itu dituliskannya dalam buku berjudul Dari Penjara ke Penjara Jilid III’.

Baca Juga :   Dialektika Bapak-Bapak Bangsa (2): Soedirman, Tan Malaka, dan Cita-cita Merdeka 100 Persen yang Belum Tercapai

Perihal silang pendapat perkara cara mendapatkan kemerdekaan tersebut pernah diulas oleh Dimas Ginanjar, Dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, dalam artikelnya berjudul Kemerdekaan: Hasil Perjuangan, Bukan Hadiah.

Menurut analis senior Stratagem Indonesia ini, golongan yang digawangi oleh Sutan Sjahrir dan juga Tan Malaka menuntut agar kemerdekaan tidak dikaitkan dengan Jepang yang fasis. Mereka juga tak ingin kemerdekaan lahir dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang notabene bikinan Pemerintah Fasis Jepang.

Sementara di sisi lain, golongan yang diwakili Sukarno dan Muhammad Hatta, menurut Dimas, lebih realistis dan taktis. Mereka ”bekerja sama” dengan Jepang, dengan tujuan untuk ”memperalat” Jepang demi memperoleh kemerdekaan. Ini murni taktik.

Soal taktik itu, sejarawan Belanda Walentina de Jonge dalam buku Sukarno Hatta Bukan Proklamator Paksaan (2015) menulis, ”… kisah Jepang memperalat Sukarno-Hatta sebetulnya lebih tepat disebut kisah Sukarno-Hatta memperalat Jepang.”

Sikap Sukarno dan Hatta, kata Walentina, diambil berdasarkan lima perhitungan. Pertama, karena Sukarno berani memastikan Jepang pasti kalah oleh Sekutu. Pada pleidooi Indonesia Menggugat (1930), Sukarno meramalkan perang Pasifik—perang antara Jepang dan Sekutu—dimenangkan Jepang di awal 1941. Namun, setelah itu, gantian Jepang yang dipukul mundur.

Baca Juga :   Bung Karno Naik Haji (2): Pergi Haji setelah Mendapat ‘Desakan’

Kedua, menurut Sukarno dan Hatta, melawan Jepang secara fisik waktu itu tidak bijak. Sebab, kekuatan militer Belanda saja ditaklukkan oleh Jepang, apa kabar tentara Indonesia? Apalagi penjajah Jepang dikenal kejam tanpa kompromi.

Sikap kompromis Sukarno dan Hatta itu dipilij untuk menghindari perlakuan kejam dari tentara Jepang. Inilah perhitungan ketiga. Dengan “bekerja sama”, menurut Sukarno dan Hatta, konflik fisik yang bisa merugikan bangsa sendiri bisa dihindarkan.

Keempat, sebagai dwitunggal yang amat populer ketika itu, Sukarno dan Hatta tidak mungkin bekerja di bawah tanah. Mereka bergerak secara terang-terangan. Dan melawan Jepang secara terang-terangan, menurut mereka, bukan pilihan yang bijak.

Kelima, kerja sama dengan Jepang sengaja dilakukan untuk menjaga semangat kebangsaan dan mempersiapkan syarat-syarat sebuah negara—di antaranya tentara dan undang-undang.

Artikel Terkait

Leave a Comment