Kalimat bijak yang menjadi judul di atas merupakan petuah K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, yang merupakan sahabat dekat Gus Dur dan salah satu “murid” dari Sujiwo Tejo, dalang yang Presiden Jancuker itu. Penulis mendengar mauidhah bijak ini dari youtobe pengajian yang disampaikan Simbah Kakung di salah satu pengajiannya.
Bagi penulis, wejangan cekak aos ini sangat menampar dan menghunjam. Predikat santri tidak selayaknya hanya menjadi monopoli dan klaim gagah-gagahan orang yang pernah mengenyam pendidikan di Pesantren saja. Sesiapa saja yang berakhlak seperti santri pantas dan layak menyandang gelar santri. Karena agama sendiri adalah akhlak dan amal, bukan tampilan, prejengan, dan predikat. Sangat disayangkan dan nahas benar jika gelar santri disalahgunakan, disalahterapkan, dan hanya menjadi kedok untuk meraup keuntungan duniawi dengan melakukan tindakan negatif dan kemunkaran. Mending jangan mengaku santri daripada memalukan komunitas santri.
Lalu, karakter santri itu seperti apa? Penulis, yang belum pantas disebut santri, mencoba menuliskannya sebagaimana berikut:
Pertama, penjelajah intelektual yang kritis. Karena keahlian dan penguasaan ilmu alat (nahwu) dan bahasa santri terbiasa membaca sendiri khazanah kitab-kitab klasik maupun modern. Santri adalah sosok pembelajar mandiri, otodidak, luas ilmu dan referensinya. Santri terbiasa berdiskusi, berdebat ilmiah, membaca secara mendalam, meresume, dan mengulang-ulang pelajaran (takrar). Semua aktivitas tersebut men-drill santri untuk berani mengemukakan pemikiran, membangun argumentasi, dan mempertahankan, melatih santri berpikir kritis dan analisis, melecut santri untuk menulis, dan menguatkan daya ingatnya.





