samudrafakta.com

Brasilia Menginspirasi Sukarno untuk Memindahkan Ibu Kota Negara

Brasil kala itu adalah mitra penting AS dan tergabung dalam The Inter-American Treaty of Reciprocal Assistance atau Rio Pact—sebuah pakta pertahanan yang didirikan tahun 1947, beranggotakan negara-negara Amerika Latin, dan dibentuk untuk menghadapi bahaya komunisme di kawasan tersebut.

Di Brasil Sukarno berusaha membangun citra sebagai sosok yang mewakili bangsa dan ideologi yang ramah. Dia mengunjungi makam pahlawan, taman nasional, dan menanam sebuah pohon yang disaksikan sejumlah pejabat Kota Rio de Janeiro. Sukarno juga menemui anak-anak sekolah yang turut menyambut kedatangannya.

Sukarno juga mengunjungi Parlemen Brasil untuk menyampaikan pidato berjudul The Renaissance of Today. Ratusan anggota Parlemen datang untuk mendengarkan pidato tersebut. “Saya sudah sangat lama berkeinginan mengunjungi Brasil, dan saya berterima kasih kepada Presiden Brasil atas undangannya kepada saya,” kata, Sukarno mengawali pidatonya.

Sekitar satu jam pidato Sukarno menghipnotis Parlemen Brasil. Tak ada satu pun yang beranjak dari tempat duduknya saat Sang Putra Fajar berorasi. Sukarno berbicara banyak tentang nilai-nilai humanisme yang menyatukan seluruh umat manusia. Dalam konteks ini, Sukarno menyebut Brasil dan Indonesia terikat oleh sebuah kesamaan: Kemanusiaan. Indonesia dan Brasil, menurutnya, sama-sama negeri masa depan; land of the day-after-tomorrow.

Sukarno juga menyambangi Universitas Rio de Jeneiro, dan di kampus terbesar di Brasil ini dia menerima penghargaan gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang ilmu hukum, tanggal 20 Mei 1959. Saat menerima penghargaan, Sukarno menyampaikan sebuah pidato berjudul Bridges of Understanding yang memukau para sivitas akademika kampus tersebut.

Baca Juga :   Bung Karno Naik Haji (1): “Intervensi” Sukarno Membikin Arafah yang Gersang Menjadi Hijau

Presiden Kubitschek pun mengajak Sukarno mengunjungi Kota Brasilia yang kala itu sedang dibangun. Brasilia berjarak sekitar 934 kilometer, atau 580 mil, dari Rio de Janeiro. Ajakan ini langsung disambut Sukarno, mengingat ia juga ingin belajar sekaligus menyaksikan langsung proses pembangunan dan pemindahan sebuah ibukota.

Salah satu gedung pemerintahan Brasil ketika baru dibangun di Brasilia. (Dok. Istimewa)

Gagasan pemindahan ibukota sebenarnya telah lama dibahas oleh Pemerintah Brasil. Bahkan, gagasan ini dimasukkan dalam konstitusi negara sejak tahun 1891, 1934, dan 1946. Namun, ide itu baru bisa direalisasikan saat Kubitschek memegang tampuk kekuasaan. Rencana eksekusi ini dinyatakan Juscelino Kubitschek dalam kampanye politiknya saat mencalonkan diri sebagai presiden. Dan ia mewujudkan janjinya saat terpilih.

Rencana ini awalnya menimbulkan kontroversi, bahkan ditentang banyak pihak. Tak sedikit politisi dan warga Rio de Janeiro yang menolak. Mereka menganggap pemindahan ibukota tidak rasional dan membebani negara. Mereka juga menganggap Rio de Janeiro masih layak jadi ibukota. Pro-kontra berlangsung hingga bertahun-tahun, melibatkan para pakar, dan diliput oleh media nasional pun internasional.

Baca Juga :   Sukarno: Ramadhan Bukan Bulan yang Melemahkan Perekonomian

Pembangunan Brasilia melibatkan pakar dan arsitek terkenal dunia. Di antaranya adalah Lucio Costa (perencana kota), Oscar Niemeyer (arsitek utama), dan Roberto Burle Marx (landscape designer). Pembangunan dimulai bulan Februari 1957. Kurang lebih 200 mesin berat dan 30 ribu tenaga kerja dilibatkan untuk memulai proyek besar tersebut. Pengerjaan berlangsung siang dan malam tanpa henti, membangun ratusan bangunan, bermil-mil jalan raya, jembatan, dan gedung-gedung pemerintah serta layanan publik.

Hari berganti, bulan berlari, tahun bersalin. Dua tahun sejak dimulainya pembangunan, kota baru yang cantik itu, Brasilia, seolah muncul dari bawah tanah. Ia berhasil dibangun.

Artikel Terkait

Leave a Comment