samudrafakta.com

Sunan Muria (3): Penjaga Ketahanan Pangan, Ekonomi, dan Sosial

Sunan Muria senang tinggal di daerah pelosok yang jauh dari pusat perkotaan dan berdakwah di pedalaman. Dia bergaul dengan rakyat jelata sembari mengajarkan beragam kursus keterampilan gratis, seperti bercocok tanam, berdagang, dan kesenian. Dia juga dia mengajarkan ketahanan pangan, ekonomi, dan sosial secara sederhana.

Sunan Muria merangkul tradisi masyarakat setempat sembari secara perlahan menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Misalnya, dia memodifikasi tradisi persembahan sesajen kepada roh nenek moyang, yang disebut bancakan, yang banyak dikerjakan oleh masyarakat Jawa yang ketika itu mayoritas penganut Hindu, Buddha, dan animisme. Secara perlahan Sunan Muria mentransformasikan tradisi itu dengan mengajarkan masyarakat agar tak lagi mempersembahkan makanan kepada roh leluhurnya, tetapi membagikan makanan tetangga sekitarnya.

Sunan Muria juga mengubah nama tradisi tesebut, dari bancakan menjadi kenduri. Niat acara juga diubah, dari yang awalnya untuk mempersembahkan sesajen kepada roh leluhur menjadi berkirim doa kepada leluhur dengan doa-doa Islam.

Saat ini, tradisi hasil modifikasi Sunan Muria tersebut dikenal dengan istilah “kirim doa”. Biasanya dikerjakan sebelum bulan Ramadhan, sebelum acara pernikahan, atau sebelum melakukan acara besar lainnya. Semacam pra-acara utama. Tujuannya mendoakan leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal dunia, dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran dan shalawat.

Baca Juga :   Sunan Bonang (2): Pasang-Surut Dakwah Hingga ke Indonesia Timur

Sunan Muria memilih pendekatan sebagaimana gaya ayahnya, Sunan Kalijaga. Tradisi keagamaan lama yang dianut masyarakat tak dihilangkan, melainkan diberi warna Islam dan dikembangkan menjadi tradisi keagamaan baru khas Islam.

Sunan Muria tidak mengharamkan tradisi peringatan telung dino (tiga hari) hingga sewu dino (seribu hari) kematian seseorang yang juga dijalankan oleh masyarakat Jawa pra-Islam. Hanya saja, dia menghilangkan kebiasaan membakar kemenyan atau memberikan sesajen di tempat tertentu, diganti dengan shalawat dan doa untuk ahli kubur.

Sunan Muria—mengikuti jejak Sunan Kalijaga dan wali-wali yang lain—juga berdakwah memanfaatkan bahasa tembang. Dia diyakini sebagai pencipta tembang-tembang cilik atau sekar alit jenis Sinom dan Kinanthi. Sunan Muria mengkompos kedua tembang itu sebagai bentuk penghormatan kepada kesenian Jawa yang menyukai nyanyian macapat atau puisi jawa. Tembang gubahan Sunan Muria berisi nasihat dan ajaran tauhid. Sunan Muria juga dikenal pintar mendalang dengan membawakan lakon-lakon carangan karya ayahnya, Sunan Kalijaga.

Artikel Terkait

Leave a Comment