samudrafakta.com

Sunan Gunung Jati (2): Perawat Tradisi Halalbihalal

Selain menjalankan metode politis-struktural, Sunan Gunung Jati juga menjalankan metode kultural dalam dakwahnya. Dia merawat tradisi halalbihalal, sehingga seremoni khas Islam di Nusantara itu masih lestari di kalangan umat Islam di Indonesia, yang rutin dilakukan setiap Hari Raya Idul Fitri tiba, hingga saat ini.

Metode dakwah yang diterapkan Sunan Gunung Jati di tanah Jawa dan Sunda—yang pernah dipengaruhi kebudayaan Hindu-Buddha—merupakan hasil dari pemikiran yang matang. Keberhasilan dakwahnya tak lepas dari latar belakangnya sebagai orang terpandang atau bangsawan.

Sunan Gunung Jati memiliki garis keturunan yang bagus, baik dari ayah maupun ibu. Dia juga memiliki status sosial yang tinggi sebagai penguasa Cirebon. Kedudukan yang tinggi, kemapanan ekonomi, dan kesalehan yang dimiliki Sunan Gunung Jati memungkinkan dia untuk memobilisasi masyarakat agar masuk Islam.

R.H. Unang Sunardjo, dalam buku Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cerbon 1479-1809,  mencatat bahwa Sunan Gunung Jati meletakkan dasar pengembangan Islam dan perdagangan orang-orang Islam di Banten pada tahun 1525 atau 1526. Sedangkan menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, Sunan Gunung Jati mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa, seperti Demak dan Pajang, dan diberi gelar Raja Pandita karena kedudukannya sebagai raja dan ulama.

Baca Juga :   Inilah Sejarah Gerak Jalan Perjuangan Mojokerto-Surabaya

Slamet Muljana, dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, menjelaskan, berdasarkan berita dari kronik Tionghoa di Kelenteng Talang, yang bertanda tahun 1552, Sunan Gunung Jati memiliki jabatan strategis dalam militer Demak yang beragama Islam. Bahkan, ketika Sunan Gunung Jati diutus oleh Sultan Trenggono ke Cirebon dan Sunda Kelapa, dia lebih tampak sebagai panglima perang daripada seorang ulama atau wali. Negara Demak waktu itu secara resmi menganut mazhab Hanafi, seperti yang diajarkan oleh Sunan Ampel.

Selain sebagai penguasa, sebagaimana tercatat dalam naskah-naskah tradisi Cirebon, Sunan Gunung Jati juga mengambil peran sebagai seorang tabib dalam proses dakwahnya. Dia memiliki metode yang khas di bidang kesehatan. Masalah kesehatan lahir diatasinya dengan obat-obatan maddiyah atau lahiriah, seperti daun-daun dan akar-akaran, sementara pengobatan batin ditempuh dengan cara spiritual, menggunakan jampi-jampi dan mantra-mantra yang diubah menjadi doa-doa.

Syarif Hidayatullah tampil sebagai kepala pemerintahan Cirebon selama kurang lebih 89 tahun dan berhasil mengislamkan hampir seluruh wilayah kekuasaannya. Dia mendirikan masjid di seluruh wilayah Cirebon, kemudian dilanjutkan dengan membangun spiritual masyarakat.

Baca Juga :   Wali Songo Tidak Hanya Satu Generasi

Wilayah kekuasaan Cirebon semakin luas ketika murid-murid Syarif Hidayatullah ikut aktif menyebarkan ajaran gurunya. Sementara itu, kegiatan dakwah Syarif Hidayatullah di luar Cirebon mencakup daerah Sumedanglarang, daerah Ukur Cibaliung di Kabupaten Bandung, Batulayang, Pasir Luhur, hingga Garut. Sebagaimana umumnya Wali Songo lainnya, Sunan Gunung jati menggunakan pendekatan sosial-budaya dalam proses dakwahnya.

Budayawan Cirebon, Nurdin M. Noer, menjelaskan, kehadiran Sunan Gunung Jati ke Cirebon sangat memengaruhi tata pemerintahan di Cirebon. Sebelumnya kedatangan Sang Sunan, Cirebon merupakan bagian dari Kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu.

Artikel Terkait

Leave a Comment