samudrafakta.com

Sumpah Mubahalah: Simbol Perlawanan ‘Top Level’ Melawan Dusta dan Fitnah

Ilustrasi: SF.

Beda Pendapat Ulama Dua Negara

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (diserap tahun 2016), “mubahalah” bermakna: “doa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk memohon jatuhnya laknat Allah Swt. atas siapa yang berbohong”. Mereka kemudian berdoa kepada Tuhan agar menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran (Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Lentera Hati,  Jilid 2).

Menurut Ibn Faris dalam Maqāyis al-Lughah, akar kata “b” –“h” – “l”—”ba”, “ha” besar, dan “lam” dalam huruf hijaiah—memiliki tiga makna dasar, yaitu “pengosongan”, “doa dengan jenis tertentu”, dan “sedikit air”. Mubahalah yang dimaksud di sini berasal dari makna kedua.

Sementara Ibn Manzur dalam Lisan al-‘Arab menyebutkan bahwa bentuk masdaral-bahl” bermakna “laknat”. Oleh karena itu, “bahalahullahu bahlan” bermakna “Allah sangat melaknatnya”. Sedangkan verba “bāhala, tabāhala”, dan “ibtahala” bermakna “saling melaknat”. Namun, kata terakhir, yaitu “ibtahala”, memiliki makna lain, yaitu “berdoa dengan khusyuk, ikhlas dan sungguh-sungguh”.

Al-mubahalah” membawa maksud “al-mulaianah”, yaitu “saling laknat-melaknati”. Menurut Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf dalam kitabnya, Tafsir al-Bahr al-Muhith, mubahalah berarti: “pihak yang berbelah saling doa mendoakan untuk membersihkan diri antara mereka supaya diturunkan laknat kepada salah seorang daripada mereka yang berbohong”.

Zamakhsyari dalam Tafsir Kasysyaf-nya, menafsiri ayat mubahalah QS. Ali-Imran: 59-60, dengan menukil riwayat Aisyah Ra., bahwa Kanjeng Nabi Saw. keluar pada Hari Mubahalah dengan Kaum Najran dan memakai jubah sampai menutupi rambut hitamnya. Pada saat Imam Hasan datang, dia memasukannya ke dalam jubah tersebut, lalu Imam Husain datang dan memasukkannya pula, kemudian Fatimah, selanjutnya Imam Ali. Kemudian  Kanjeng Nabi berdoa sebagaimana ayat 33 Surah Al-Ahzab.

Zamakhsari menjelaskan lagi secara tandas, “Membawa anak-anak dan istri-istri pada saat bermubahalah lebih menunjukan kepada otoritas dan kepercayaan dibanding jika hanya bermubahalah seorang diri. Karena, dengan menyertakan mereka yang dicintai, bagian dari jiwanya dan yang sangat dicintai oleh masyarakat, ke dalam laknat dan kehancuran dan tidak hanya mencukupkan dirinya saja, itu menunjukkan keberanian.”

Ini menunjukkan bahwa Kanjeng Nabi Saw. percaya sepenuhnya jika musuhnya lah yang berada dalam kedustaan—yang jika mubahalah terjadi, keinginan orang yang dicintai dan buah hatinya akan hancur hingga ke akarnya. Pengkhususan anak-anak dan istri-istrinya disebabkan karena mereka adalah keluarga yang paling dicintai, yang menempati posisi dalam hatinya lebih dari siapa pun. Oleh karena itu, dalam peperangan mereka membawa anak dan istri bersamanya agar tidak berpisah. Karena itu Allah Swt. mendahulukan mereka (anak istri) dari diri-diri (anfus) dalam ayat mubahalah ini untuk menunjukkan bahwa anak-istri mereka memang lebih didahulukan dari diri-diri mereka sendiri.

Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia berpendapat bahwa sumpah mubahalah hanya diterima dan memiliki kekuatan hukum jika dilaksanakan di persidangan, sesuai dengan prosedur dan tata-cara pendakwaan di Mahkamah Syariah Malaysia. Menurut peruntukan undang-undang dan hukum acara Mahkamah Syariah di Malaysia, sumpah diterima pakai untuk dijadikan sebagai alat bukti di persidangan.

Leave a Comment