samudrafakta.com

Sejarah Tambang Emas Papua: Awalnya Dikira Tembaga, Tawaran Investasi AS Ditolak Sukarno

Tambang emas di Mimika, Papua, yang dikelola PT Freeport. Sebelum ada aktivitas penambangan yang dimulai tahun 1967, area tersebut merupakan sebuah gunung bernama Ertsberg atau Grasberg. Kini gunung tersebut menjadi cekungan layaknya sebuah danau. FOTO: Istimewa
Tambang Emas di Mimika, Papua, yang dikelola PT. Freeport—yang selalu menjadi perdebatan di kalangan elite negara ini—ternyata ditemukan secara tidak sengaja, imbas kebijakan ekonomi Kuba setelah diambil-alih oleh Fidel Castro. Awalnya dikira gunung tembaga.

Pada tahun 1959, Freeport Sulphur—sebuah perusahaan pertambangan multinasional milik Amerika Serikat (AS)—nyaris remuk setelah terjadi pergantian kekuasaan di Kuba. Ketika itu Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator militer sayap kanan peliharaan kapitalisme Amerika, Fulgencio Batista. Begitu mengambilalih tampuk kekuasaan, Castro langsung memalingkan kiblat politiknya ke Uni Soviet. Talak tiga jatuh pada Amerika. Castro menolak kapitalisme. Ia menasionalisasikan seluruh perusahaan asing di Kuba.

Situasi politik ini bikin Freeport jadi repot. Pasalnya, Kuba kala itu adalah salah satu tambang mineral utama Negeri Paman Sam. Lebih-lebih, pergantian rezim tersebut bertepatan dengan agenda pengapalan nikel produksi perdana Freeport dari Kuba. Perusahaan pun, mau tak mau, terhantam imbas kebijakan Castro. Modal sudah keluar, pengiriman batal dilakukan. Rugi. Freeport syok.

Terjadilah serangkaian ketegangan di Kuba, salah satunya—dan yang paling kondang—adalah Invasi Teluk Babi, 15-19 April 1961. Menurut catatan Lisa Pease, mantan wartawan majalah Forbes Amerika, mengutip buku The Killer’s karya David DeEugino, mencatat bahwa berkali-kali Freeport Sulphur, dengan bantuan CIA, merencanakan pembunuhan terhadap Fidel Castro. Namun, sejarah membuktikan tak satu pun upaya itu berhasil.

Baca Juga :   Sukarno dan Bulan Muharram (2–Habis): Dua Pusaka Bung Karno Dijamas Setiap Akhir Bulan Suro

Di tengah situasi yang membikin Freeport pening ribuan keliling itu, pada Agustus 1959, Direktur Freeport Sulphur, Forbes K. Wilson, bertemu Direktur Pelaksana East Borneo Company (EBC), Jan van Gruisen. EBC adalah perusahaan kontraktor pertambangan asal Belanda. Hajat Wilson waktu itu adalah mencari jalur alternatif sumber kekayaan alam di negara selain Kuba.

Hasil pertemuan itu rupanya mennadi adalah jawaban untuk kegundahan Wilson. Gruisen bercerita pada Wilson bahwa ia mendapatkan sebuah laporan penelitian terhadap Gunung Ertsberg, di Irian Barat. Waktu itu, Irian Barat masih diklaim Belanda. Laporan yang dimaksud van Gruisen itu ditulis oleh Jean Jacques Dozy pada tahun 1936.

Jean Jacques Dozy (1908–2004) adalah seorang geolog Belanda. Pada tahun 1936, ia menemukan Ertsberg di Papua, Hindia-Belanda, cikal bakal Tambang Grasberg. Pada tahun 1939, ia menerbitkan penemuannya, namun diabaikan akibat Perang Dunia II. Dua puluh tahun kemudian, Gunung Bijih ditemukan kembali berdasarkan tulisannya, dan dikembangkanlah kompleks pertambangan Gunung Bijih-Grasberg.

Menurut Gruisen, Gunung Ertsberg pernah dianggap tak berguna. Laporan penelitian tentangnya digeletakkan begitu saja di perpustakaan Belanda selama bertahun-tahun. Sampulnya diselimuti debu saking lamanya terperam, tak pernah dibuka. Namun, benda yang dianggap tak berguna itu justru memantik perhatian van Gruisen. Dia memungut dan menyimaknya.

Baca Juga :   Sukarno dan Khruschev (4): Stadion Utama GBK Berdiri setelah Bung Karno Meluluhkan  Khrushchev

Bingo! Dia menemukan surga.

Artikel Terkait

Leave a Comment