samudrafakta.com

Relasi Harmonis Tan Malaka – Kiai Hasyim Asy’ari: Membangun Kemandirian Ekonomi hingga Resolusi Jihad

Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dan Tan Malaka. (Dok. SF)

Relasi Harmonis Tan Malaka – Hasyim Asy’ari

Tan Malaka juga cukup dekat dengan ayah Wahid Hasyim, Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama atau NU.

Menurut sejarawan NU, Ahmad Baso, Tan Malaka pernah “berguru” pada Kiia Hasyim di Tebuireng, dari Magrib hingga Subuh, pada tanggal 12 atau 13 November 1945. Pernyataan Baso merujuk pada karya Harry A. Poeze, Verguisd en Vergeten: Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949(Leiden: KITLV, 200), vol. 1, hal. 145-6).

Sebagaimana dicatat Poeze, sebelum kemerdekaan Bangsa Indonesia tahun 1945, Tan Malaka pernah sowan Kiai Hasyim. Tan, menurut Poeze, tertarik dengan gaya pengajaran Kiai Hasyim di Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang, di mana kakek Gus Dur itu mengajarkan santrinya hidup mandiri dengan cara berladang, bertani, dan berternak. Aktivitas tersebut menjadi sumber penghidupan para santri.

Tan Malaka pun tertarik dengan konsep pendidikan mandiri itu dan “berguru” kepada Kiai Hasyim. Setelah itu, Tan menerapkan metode serupa di Sekolah Rakyat yang dia dirikan di Semarang. Sekolah tersebut dibangun dari kerja keras peserta didik ditambah sumbangan saudagar.

Baca Juga :   Muhaimin Iskandar Mengaku Dikudeta dari PKB dan Punya “Azimat” dari Gus Dur

Tan Malaka juga mendapatkan penjelasan langsung dari Kiai Hasyim tentang relasi Islam dan sosialisme. Penjelasan Kiai Hasyim, bagi Tan, sejalan dengan pendapat Haji Misbach—seorang ulama sosialis—dan Natar Zainuddin, yang mengatakan bahwa sosialisme sejalan dengan konsep rihmatalil alamin atau rahmat bagi semesta alam dalam Islam.

Konsep kewajiban membayar zakat, melindungi buruh, dan para fakir miskin dalam Islam, menurut Tan Malaka, segaris dengan sosialisme. Ketertarikan Tan Malaka terhadap metodologi pengajaran Ponpes Tebuireng itu dia tuliskan dalam koran Pemandangan Islam.

Sementara itu, menurut Anisa Anggraeni Saldin dalam tulisannya, Tan Malaka Berguru Pada Hadhratusyekh Hasyim Asy’ari’ , yang dimuat di History of Cirebon pada 18 Juni 2020, ketika bertemu Kiai Hasyim, Tan Malaka ditemani oleh Samaoen.

Keduanya sowan untuk meminta nasihat Kiai Hasyim Asy’ari sekaligus mencari sekutu untuk mempropagandakan pemogokan kaum buruh. Untuk merealisasikan pemogokan, Tan Malaka dan gerakannya mendoktrin buruh agar tidak bekerja di pabrik bikinan Belanda, karena dapat menguntungkan orang asing. Juga menyuruh warga pribumi agar tidak menyewakan tanah atau rumahnya kepada Belanda untuk berkebun, karena itu akan sangat merugikan.

Baca Juga :   KH. Bisri Syansuri (2): Pejuang dan Politisi yang Teguh pada Fikih, demi Indonesia

Tan Malaka mengajak Kiai Hasyim Asy’ari menjadi sekutu karena menilai Pesantren Tebuireng mengusung visi-misi yang sama dengan pergerakannya, terutama jika dilihat dari praktik pendidikan pesantren yang menanamkan kemandirian kepada para santri—yang kebanyakan dari kelas bawah alias masyarakat miskin.  Kiai Hasyim Asy’ari mengajarkan para santrinya keterampilan agar tidak meminta bantuan kepada Belanda.

Kendati ‘berbeda ideologi’, di mana Tan seorang sosialis, sementara Kiai Hasyim Asy’ari seorang Islam tradisionalis, namun keduanya ‘berjumpa’ pada motif pergerakan yang sama: mengangkat derajat rakyat Indonesia dengan kemandirian. Caranya adalah dengan mengubah gaya berpikir peserta didik atau santri agar mandiri. Kemandirian itulah yang menjadi modal untuk memerdekakan bangsa Indonesia.

Tan Malaka, yang ketika itu sedang giat membangun sebuah sistem pendidikan massa yang terkait dengan nilai-nilai sosialisme, aksi massa, keahlian berorasi, agitasi, dan jurnalisme, mendapat banyak inspirasi dari kunjungannya ke Tebuireng. Semua ‘bahan’ untuk mengimplementasikan gagasan-gagasannya ternyata sudah dipraktikkan di ponpes tersebut.

Artikel Terkait

Leave a Comment