samudrafakta.com

Reduksi Gus Ulil Abshar Abdalla dalam Memahami Kemenangan Prabowo

Tulisan Gus Ulil Abshar Abdalla (GUAA), salah seorang intelektual Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), berjudul “Memahami Kemenangan Prabowo”, yang terbit di harian Kompas pada Kamis, 15 Februari 2024, menurut penulis, adalah opini yang ‘amat ganjil’. Apalagi mengingat GUAA selama ini dikenal publik sebagai intelektual yang kritis. 

Kenapa ‘ganjil’? Karena tulisan tersebut muncul persis sehari setelah hari pencoblosan Pemilihan Umum (Pemilu). Penghitungan suara pun baru berdasar hasil hitung cepat atau quick count beberapa lembaga survei maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang menyisakan banyak persoalan di lapangan. Tetapi, di tengah situasi tersebut, GUAA secara terburu-buru melegitimasi kemenangan pasangan calon (paslon) nomor urut 02, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, dengan dua premis besar.

Premis pertama, menurut GUAA, perolehan suara pasangan Prabowo-Gibran merepresentasikan harapan rakyat Indonesia akan keberlanjutan program Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Premis kedua, menurut GUAA, opini publik yang menyoroti kemunduran dan stagnansi demokrasi di era Jokowi adalah pandangan kelas menengah, bukan masyarakat akar rumput.

Padahal dalam Pemilu kali ini ada premis-linier yang sederhana, berdasarkan perhitungan quick count: jika Jokowi memang kuat, kenapa Partai Solidaritas Indonesia (PSI) hampir tidak lolos Senayan? Jika memang Prabowo benar kuat—dengan raupan suara 57 persen—kenapa perolehan suara Partai Gerindra hanya 13 persen? Begitu juga dengan perolehan suara Ganjar-Mahfud, kenapa di bawah perolehan PDI Perjuangan di parlemen?

Baca Juga :   Tenang, Tenang, Tenang! Jika Caleg Hingga Timses Mengalami Stress, Ini Terapinya

Jawabannya, menurut penulis, sudah ada dalam nalar kritis seorang analis politik sebagaimana halnya GUAA.

Dalam hemat penulis, premis klaim dan ‘legitimasi instan’ terhadap kemenangan Prabowo itu memperlihatkan bahwa, sebagai intelektual, GUAA tidak hanya kehilangan nalar kritisnya, tetapi juga kehilangan sensitifitas sosialnya.

Entah apa yang menjadi sebab GUAA seolah melupakan peristiwa demi peristiwa ‘pilu’ menjelang dan sesudah Pemilu.

Sebagaimana jamak diketahui publik, anomali Pemilu kali ini bermula dari putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) No.2/MKMK/L/11/2023, yang menyebut adanya pelanggaran etik hakim konstitusi Anwar Usman. Pelanggaran inilah yang membuka peluang pencalonan Gibran Rakabuming Raka maju sebagai Calon Wakil Presiden atau Cawapres.

Anwar Usman tidak sendirian. Pada 5 Februari 2024, Ketua KPU Hasyim Asy’ari menerima pencalonan Gibran sebagai salah satu Cawapres untuk Pemilu 2024. Hasyim tidak mengindahkan revisi aturan prosedur terkait syarat Capres dan Cawapres setelah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.90/PUU-XXI/2023.

Jauh sebelum itu, banyak suara kritis datang dari budayawan. Salah satu di antaranya dari Goenawan Mohamad, yang sering disebut oleh GUAA sebagai guru intelektualnya. Lalu, meledak petisi dari berbagai perguruan tinggi dan forum rektor, juga agamawan dan aktivis kampus.

Baca Juga :   AMIN Disebut Keok di Jatim, Kata Sekjen PBNU PKB Salah Resep, Cak Imin: Saya Ikut Gus Mus

Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof. Koentjoro, berpendapat bahwa sivitas akademika menjalankan perannya menjaga etika moral bangsa dan negara dengan berbagai pelanggaran moral dan konstitusi yang dilakukan Presiden Jokowi menjelang Pilpres 2024.

Kritikan tersebut bukannya ditempatkan sebagai pengingat oleh Presiden Jokowi, tetapi dia justru mengemumakakan pernyataan bahwa Presiden juga punya hak politik untuk ikut kampanye mendukung calon tertentu. Statemen ini mengemuka dengan berbagai pasal dan undang-undang (UU) yang mengaturnya. Menanggapi ‘tingkah’ Presiden Jokowi tersebut, sampai-sampai Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) turun berkomentar di medsos: “Boleh (kampanye) asal cuti dulu..”

Hampir tiap saat media masa memberitakan aparatur negara sudah tidak netral lagi, mulai pejabat desa sampai kementerian. Eks pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun, Laode M. Syarif, menyoroti bantuan sosial (Bansos) yang digelontorkan jor-joran menjelang hari coblosan. Angka Bansos menjelang Pilpres kali ini mencapai Rp560,36 triliun; lebih besar dibanding Bansos di masa darurat pandemi tahun 2020 — 2022.

Menurut pimpinan PollMark Indonesia, Eep Saefulloh Fatah, Bansos menjelang Pilpres 2024 juga jauh lebih besar dibandingkan Bansos menjelang Pemilu-Pemilu sebelumnya. Pada tahun 2009, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono SBY, Bansos yang dikucurkan senilah Rp17,7 triliun. Sedangkan di tahun 2014 Rp78,3 triliun, dan tahun 2019 Rp194,76 triliun.

Baca Juga :   Gus Ipul Izinkan Eks Relawannya Mendukung Prabowo –Gibran

GUAA, sebagai intelektual, analis politik, dan intelektual NU, semestinya bisa sensifif dan tidak mengabaikan angka-angka yang valid di depan mata ini. Tetapi, bagaimana mungkin ini bisa terlupakan, sehingga dengan mudah melegitimasi besarnya perolehan paslon Prabowo-Gibran adalah representasi suara rakyat kecil. Sedangkan Presiden Jokowi, yang sekaligus ayah kandung Gibran, sama sekali tidak dibahas, apakah dia netral atau ada penyalahgunaan kekuasaan—sebagaimana pendapat banyak akademisi, budayawan bahkan sampai agamawan?

Artikel Terkait

Leave a Comment