samudrafakta.com

Nuansa “Agak Laen” Iringi Kemenangan Prabowo, Mulai Gontok-Gontokan dengan Jokowi?

Prabowo didampingi para ketua umum partai pendukung koalisinya menyampaikan pidato kemenangan. Tidak ada Gibran di antara mereka. | FOTO: Antara

Tanda-tanda bahwa Gerindra tidak bakal diajak dalam koalisi besar, menurut Henri, tampak dari anomali perbandingan perolehan suara antara Prabowo dengan Partai Gerindra. Dalam Pilpres, Prabowo—yang notabene Ketua Umum Partai Gerindra—mendapat dukungan suara yang sangat tinggi, hingga 58 persen, atau setara dengan sekitar 96 juta suara.

Namun, di sisi lain, partai yang dia pimpin hanya mendapatkan 13,22 persen suara dan hanya menempati posisi tiga di bawah PDIP dan Golkar.

Memang, dibandingkan perolehan suara pada Pemilu 2019, suara Gerindra naik sedikit. Para periode lalu, partai ini hanya mampu meraup 12, 57 persen dan menempati urutan kedua di bawah PDIP. Namun, dari sisi peringkat, pada Pemilu kali ini Gerindra disalip oleh Partai Golkar, yang meraup 15,28 persen suara. Pada Pemilu 2019, Golkar berada di urutan ketiga dengan raihan 12,31 persen suara.    

“Ketumnya (Partai Gerindra) jadi Capres dengan kemenangan suara 58 persen, tapi partainya sendiri perolehan suaranya di bawah 15 persen. Seakan Pasangan Prabowo-Gibran tidak berpengaruh ekor jasnya pada perolehan suara Gerindra,” imbuh Henri.

Baca Juga :   Boy Thohir Klaim Djarum dan Sampoerna Group Siap Menangkan Prabowo-Gibran

“Yang naik drastis justru Golkar. Partai yang sedang jadi sorotan karena ditengarai akan diambilalih oleh ‘kekuatan Jokowi’,” tambah dia.

Fakta fluktuasi suara parpol ini, menurut Henri, menyiratkan pesan politik bahwa yang menang Pilpres sebenarnya bukan Prabowo, tetapi Jokowi bersama Golkar yang telah mengusung anaknya, Gibran. Kemenangan pun didapat karena, menurut Henri, berkat usaha dan strategi Jokowi—yang secara terbuka membela pasangan Prabowo-Gibran dengan berbagai cara.

Henri menyarankan agar Prabowo, Gerindra, dan seluruh pendukungnya menyadari adanya indikasi skenario tersebut—di mana mereka sedang ‘dipaksa secara halus’ untuk terus menghormati, bahkan tunduk pada politik Jokowi.

Henri juga menilai jika Prabowo aslinya belum tentu menyukai Gibran—yang besar di dunia politik karena “dikarbit”. Namun, Prabowo terpaksa menerimanya demi bisa memanfaatkan kekuatan Jokowi untuk memenangkan Pilpres 2024.

“Nanti, setelah dilantik jadi Presiden RI, tentu Prabowo ingin berkuasa penuh. Enggak mungkin mau ada matahari kembar,” prediksi Henri.

“Di situlah bibit konflik rebutan power antara Jokowi dan Prabowo sulit dielakkan,” tegasnya.(Achmad Sulthon/Faried Wijdan)◼︎

Baca Juga :   Tata Ulang Kabinet dan Orang Lama di Lingkaran Presiden Jokowi

Artikel Terkait

Leave a Comment