Upaya merawat kerukunan, lanjut Kamaruddin, harus terus diupayakan dengan menguatkan kohesi dan toleransi umat, bukan dengan tindakan yang mengarah pada segregasi. “Ikhtiar merawat kerukunan ini berbuah hasil. Praktik baik warga telah meningkatkan indeks kerukunan umat beragama,” ujarnya.
Dalam tiga tahun terakhir, Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) menunjukkan peningkatan yang signifikan. Pada 2021, indeks tercatat sebesar 72,39, naik menjadi 73,09 pada 2022, dan kembali naik menjadi 76,02 pada 2023. Tiga dimensi yang diukur adalah toleransi dengan skor 74,47, kesetaraan dengan skor 77,61, dan kerja sama dengan skor 76,00.
Kamaruddin juga mengutip beberapa hadis yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad pernah berucap salam kepada sekumpulan orang yang terdiri dari muslim dan non-muslim. Sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas’ud, juga pernah mengucapkan salam kepada non-muslim karena mereka telah menemaninya dalam perjalanan. Abu Umamah al-Bahiliy juga selalu berucap salam kepada siapa pun yang ditemuinya, baik muslim maupun non-muslim.
Imbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mungkin relevan bagi yang merasa imannya terganggu bila mengucap salam lintas agama, namun tidak perlu melarang atau meragukan iman orang yang melakukannya. “Dalam beragama diperlukan sikap luwes dan bijaksana sehingga antara beragama dan bernegara bisa saling sinergi,” tandas Kamaruddin.
Pandangan serupa juga pernah dibahas dalam Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur pada 2019. Dalam simpulannya, pejabat muslim dianjurkan mengucapkan salam dengan kalimat “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” atau diikuti dengan salam nasional seperti “selamat pagi” atau “salam sejahtera bagi kita semua”. Namun, dalam situasi tertentu demi menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan, pejabat muslim diperbolehkan menambahkan salam lintas agama.
