“Dengan memperluas kapasitas komputasi awan publik dan menyediakan teknologi tercanggih kepada pemerintah dan militer pendudukan Israel, Amazon dan Google membantu menjadikan apartheid Israel lebih efisien, lebih kejam, dan bahkan lebih mematikan bagi warga Palestina,” demikian bunyi perjanjian tersebut.
Gerakan ini diorganisir oleh kelompok NOTA, yang sejak 2021 telah mengadvokasi pemboikotan dan divestasi dari Project Nimbus serta proyek-proyek lain yang melibatkan pemerintah Israel. NOTA menargetkan 1.200 tandatangan dalam aksi ini.
Keputusan untuk menandatangani perjanjian ini tidaklah mudah bagi sebagian mahasiswa, terutama mengingat Google dan Amazon merupakan perusahaan favorit bagi lulusan kampus sains, teknik, dan matematika. Namun, mereka merasa terpanggil untuk bertindak demi prinsip dan keyakinan mereka.
Salah satu penandatangan perjanjian, Sam (bukan nama sebenarnya), seorang lulusan program master ilmu komputer Cornell University, mengungkapkan bahwa ia tergerak untuk bertindak setelah melihat teman-temannya yang memiliki prinsip kuat, namun akhirnya memilih bekerja di perusahaan teknologi besar karena iming-iming gaji tinggi.
“Saya kenal banyak orang yang, bukan berarti mereka punya harga tertentu, tapi ketika seseorang melihat gaji awal (dari perusahaan besar), itu akan sedikit menguji prinsip Anda,” ujarnya.
Aksi penolakan ini menjadi sorotan tajam terhadap peran perusahaan teknologi dalam konflik internasional dan memicu perdebatan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan.♦