samudrafakta.com

Tak Patah Arang, Seorang Tunanetra di NTT Kerja Sadap Nira untuk Keluarga

KUPANG | SAMUDRA FAKTA—Keterbatasan fisik bukanlah alasan untuk pesimistis dan berhenti berjuang untuk hidup. Prinsip ini mungkin bisa dilihat dari semangat Dominggus Hendrik Luin alias Rik, pria 47 tahun yang tinggal di Desa Letbaun, Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebagai seorang tunanetra, Rik tetap gigih berjuang menghidupi keluarganya sebagai penyadap nira pohon lontar.

“Hanya ini (menyadap nira—red) yang bisa saya lakukan untuk membantu menafkahi diri dan orangtua,” kata Rik, dikutip dari Kompas.com, Rabu, 26 Juli 2023. 

Tinggi pohon lontar yang harus dipanjat Rik untuk menyadap nira tak tanggung-tanggung, hingga mencapai 20 meter. Nira yang dia sadap diolah menjadi gula atau minuman yang bisa dia jual. Hasil penjualannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. 

Dengan keterbatasan fisiknya, tentu menyadap nira bukan hal mudah untuk Rik. Apalagi dia memanjat pohon lontar tanpa mengenakan alat pengaman apa pun. Peralatan yang dia bawa saat naik ke pohon hanya sebilah pisau yang diselipkan di pinggang kiri. Dia juga membawa karung plastik berwarna putih yang berisi dua jeriken.

Baca Juga :   Bangun Ketahanan Kesehatan, RI Siap Ekspor Produk Farmasi ke Afrika

Karung itu dililitkan di pinggang dan dikaitkan ikat pinggang agar tidak terjatuh saat memanjat. Rutinitas anak pertama dari delapan bersaudara pasangan suami-istri almarhum Hermanus Luin dan Dortia Luin-Neno (68) itu telah dijalaninya selama 27 tahun. Rik mengerjakan kegiatan tersebut setiap pagi dan sore, sendirian, tanpa bantuan orang lain. 

Meski tak dapat melihat, Rik bisa tahu setiap pohon lontar yang disadap. Dia tidak pernah salah mendatangi pohon-pohon lontar mana yang akan dipanjat. Jarak antar pohon lontar berkisar 20 – 30 meter. Ketinggian pohon lontar yang disadap antara 15 sampai 20 meter.  

Rik sebenarnya dilahirkan dalam kondisi normal. Matanya tak dapat melihat pada saat dirinya berusia 18 tahun. Saat itu  sudah menyelesaikan Sekolah Dasar (SD), namun karena masalah ekonomi keluarga, dia mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Rik memilih membantu kedua orangtuanya untuk menyekolahkan adik-adiknya ke jenjang SMP. 

Rik masih ingat betul, pada tanggal 3 September 1994, dia baru pulang menjaga mangga miliknya yang sedang berbuah. “Waktu itu  membawa senapan angin dan hendak melewati pintu pagar kebun. Tiba-tiba senapan tersebut meletus dan mata kanan saya tidak bisa melihat hingga berpengaruh ke mata kiri, sehingga mulai saat itu saya tidak bisa melihat total,” ungkap Rik.

Baca Juga :   Mengaku Mantan Model Majalah Dewasa, Putri Telantar di Usia Senja

Artikel Terkait

Leave a Comment