samudrafakta.com

Surat Perintah 11 Maret: Antara Ada dan Tiada

Tepat hari ini, 57 tahun lalu, sebuah surat ditandatangani oleh Presiden Sukarno dan diberikan kepada Letnan Jenderal Suharto. Namanya Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar. Surat sakti yang mengubah wajah politik dan kekuasaan di Indonesia, sekaligus menjadi alat legitimasi Soeharto untuk membangun dinasti Orde Barunya. Surat yang hingga saat ini masih terselimut halimun kontroversi tentang apa isinya, bagaimana proses keluarnya, dan bagaimana interpretasi perintah di dalamnya.

Beberapa versi sejarah mencatat bahwa surat itu berisi kuasa pengambilan segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu. Surat ini terbit di tengah huru-hara usai Gerakan 30 September 1965 (G30S) atau Gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok) yang menyeret nama Partai Komunis Indonesia (PKI) ini. Namun demikian, surat itu akhirnya menjadi “surat sakti” yang menggeser Sukarno dari posisi presiden.

Kontroversi Supersemar bahkan masih berlanjut setelah Soeharto dan Orde Baru tumbang. Sebab, ada empat versi Supersemar yang disimpan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Keempat versi tersebut berasal dari tiga instansi yang berbeda. Versi pertama dari Akademi Kebangsaan, versi kedua dari Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, dan dua versi selanjutnya dari Sekretariat Negara (Setneg). Versi Supersemar dari Puspen TNI AD-lah yang menjadi pegangan selama pemerintahan Orde Baru.

Namun, menurut manta Kepala ANRI M. Asichin, keempat versi tersebut bukanlah naskah Supersemar yang asli. Pernyataan ini disampaikan M. Asichin ketika menjadi narasumber dalam acara “Workshop Pengujian Autentikasi Arsip” di Jakarta pada 21 Mei 2013. Tidak ada yang tahu di mana surat itu.

Baca Juga :   "Mlaku Ndodok", Adab yang Dipelajari di Ndalem Pojok

ANRI telah berkali-kali melakukan penyelidikan untuk mencari keberadaan naskah asli Supersemar, namun berkali-kali pula gagal mendapatkan keterangan dari saksi terakhir, yakni Jendral (Purn) M. Jusuf—bahkan hingga dia meninggal pada 2004. Saksi lain yang memegang kunci utama atas Supersemar adalah Sukarno, yang jelas tak bisa diklarifikasi langsung.

Sementara itu, menurut sejarawan Asvi Warman Adam dalam diskusi “Supersemar: Penulisan dan Pelurusan Sejarah” yang digelar Komunitas Penulis Penerbit Buku Kompas di Bentara Budaya, Jakarta, 10 Maret 2016, kendati ada banyak versi fotokopi Supersemar di ANRI, semuanya memiliki substansi yang sama, yakni pemberian tugas kepada Jenderal Soeharto untuk mengamankan jalannya pemerintahan dan pengamanan keselamatan pribadi presiden, kemudian melaporkan pelaksanaannya kepada Sukarno. Itu yang tidak sepenuhnya dijalankan Jenderal Soeharto.

“Seandainya arsip Supersemar yang otentik tidak kunjung ditemukan, hal itu tidak mengurangi kelengkapan narasi sejarah tentang pergantian kekuasaan tahun 1965/1966,” kata Asvi.

Asvi juga mengatakan bahwa Supersemar diperoleh dengan cara tekanan. Sebelum surat tersebut terbit, menurut Asvi, Hasjim Ning dan Dasaad, dua pengusaha yang dekat dengan Sukarno, menemui Sukarno sembari membawa surat dari Soeharto. Mereka meminta agar Sukarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto. Sukarno marah dan sempat melempar asbak sambil mengatakan, “Kamu sudah pro-Soeharto.”

Baca Juga :   Sukarno: Ramadhan Bukan Bulan yang Melemahkan Perekonomian

Setelah misi kedua pengusaha itu gagal, Asvi menambahkan, pada 11 Maret, tiga jenderal, Basuki Rachmat, M. Jusuf, dan Amirmachmud, menemui Sukarno di Istana Bogor. Merekalah yang membawa Supersemar dan menyerahkannya kepada Soeharto di markas Kostrad. “Mayor Jenderal Amirmachmud menginterpretasikan surat itu sebagai pengalihan kekuasaan (transfer of authority), sesuatu yang dibantah kemudian oleh Presiden Sukarno,” ujar Asvi.

Letnan Satu Sukardjo Wilardjito, salah seorang yang dicatat oleh beberapa versi sejarah sebagai saksi penerbitan surat, menyatakan bahwa pada saat peristiwa, Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah jambu, sementara Brigjen M. Panggabean dan Brigjen Basuki Rahmat menodongkan pistol  ke arah Presiden Sukarno seraya memaksa agar dia meneken surat tersebut. Menurut Lettu Sukardjo, itulah Supersemar yang tidak jelas apa isinya. 

Namun, A.M Hanafi dalam buku A.M Hanafi Menggugat Kudeta Suharto, membantah kesaksian Lettu Sukardjo terkait kehadiran Jendral Panggabean. Menurut Hanafi, tidak ada penodongan pistol terhadap Sukarno. Hanya saja kala itu istana sudah dikelilingi tank dan demonstran, yang ‘memaksa’ Sukarno menandatangani surat yang ternyata merupakan cikal bakal lahirnya Supersemar. 

Daniel Dhakidae, jurnalis dan akademisi yang satu forum dengan Asvi pada tahun 2016, mengatakan bahwa hampir tidak ada yang tahu pasti apakah benar ada Supersemar. Semua percaya ada, namun buktinya hampir tidak ada. Menurutnya, tandatangan Sukarno dalam Supersemar adalah palsu, apalagi yang satu dengan “Soekarno” yang lain “Sukarno”. “Dengan demikian sesuatu yang dianggap inti Orde Baru sudah palsu,” kata Daniel.

Baca Juga :   Si Jenius R.M.P. Sosrokartono [2]: Cucu Kiai Tasawuf dari Teluk Awur, Wartawan Agung, dan Santri Kiai Jombang

“Kita membicarakan sesuatu yang sungguh mengerikan, historical inferno. Kalau kita mau melihatnya dari kacamata cause and effect, maka penyebabnya sama sekali sudah tidak penting. Surat itu ada atau tidak menjadi tidak penting karena konsekuensinya begitu brutal. Semua membunuh semua yang dianggap PKI,” kata Daniel.

Dengan dasar Supersemar, Soeharto mengeluarkan perintah pertama: bubarkan PKI, kemudian tumpas hingga ke akar-akarnya. Pembunuhan massal pun terjadi. Dan setelah Supersemar, menurut Daniel, masyarakat dan sejarah Indonesia berubah total: tidak lagi extrovert versi Bung Karno yakni imperialisme/kolonialisme versus nasionalisme; tetapi menjadi terlibat versus tidak terlibat, bersih diri versus tidak bersih diri, bersih lingkungan versus tidak bersih lingkungan.

“Ketika memasuki tahap ‘bersih lingkungan’ maka terjadi criminalization of one’s genealogy, garis keturunan ke atas turut memikul beban dosa versi Orde Baru. Yang kakeknya seorang aktivis PKI terkutuk juga meskipundia belum lahir pada tahun 1965,” kata Daniel.

Dan kontroversi ini belum juga menemukan konklusi hingga kini.

(Toni | Diolah dari berbagai sumber)

Artikel Terkait

Leave a Comment