samudrafakta.com

Sukarno dan Khrushchev (1): Beda Ideologi namun Satu Hati

Adalah sesuatu yang wajar bila Pemerintah Rusia—yang merupakan representasi Uni Soviet pada masa kini—sangat menghormati Sukarno sehingga membangunkan patung Proklamator Bangsa Indonesia itu di Taman Seni Museon Moskow. Pada masa lalu, Sukarno adalah “kekasih” Soviet.

 

Hubungan akrab Sukarno dengan Uni Soviet terjalin indah ketika negara adidaya pemimpin Blok Timur itu dipimpin oleh Presiden Nikita Khrushchev. Kisah pertemanan Sukarno dan Khrushchev adalah legenda yang tak lekang oleh waktu.

Keduanya bersahabat dengan cara yang unik dan menarik untuk dikenang. Sepak terjang mereka di pentas politik global sejak pertengahan tahun 1950-an dan awal 1960-an tergores abadi oleh tinta sejarah. Pada masa-masa tersebut, keduanya kompak bersinergi untuk mewujudkan tatanan baru yang mencita-citakan sebuah dunia tanpa imperialisme dan kolonialisme. Mereka juga bahu-membahu berupaya mengakhiri konstelasi Perang Dingin yang ketika itu mencapai puncaknya.

Di era kepemimpinan Sukarno, hubungan bilateral Indonesia – Uni Soviet mengalami masa keemasan, terutama pada awal tahun 1960-an. Indonesia dan Soviet begitu dekat secara psikologis. Kedua pemimpinnya seperti sepasang saudara kandung yang kompak.

Baca Juga :   Mengenal KRI Bung Karno-369, Kapal Perang Buatan Anak Negeri

Kedekatan dengan Khrushchev memberi Sukarno sekutu kuat di kancah global. Sementara bagi Khrushchev, Sukarno hadir sebagai seorang sahabat dari ’timur jauh’ yang dapat diandalkan, sekaligus teman bertukar pikiran dalam mencari berbagai solusi perdamaian.

Namun demikian, sebagaimana ditulis oleh Sigit Aris Prasetyo dalam bukunya, Sukarno & Khrushchev: Beda Ideologi, Satu Hati, ada konsekuensi politik yang harus dibayar Sukarno ketika memilih bersahabat dengan Khrushchev. Dunia Barat, khususnya AS, menuduhnya sebagai “antek”, “begundal”, bahkan “budak Moskow”. Putra Sang Fajar juga dituduh sebagai pemimpin komunis yang berupaya membawa bangsa dan rakyatnya menuju “masyarakat tanpa kelas”.

Menanggapi berbagai tuduhan tersebut, Sukarno berkukuh. Dia tetap merangkul Khrushchev dan membantah propaganda Barat itu. “Aku bukan, tidak pernah, dan tidak mungkin menjadi seorang komunis! Aku membungkukkan diri ke Moskow? Setiap orang yang pernah dekat dengan Sukarno mengetahui, ia memiliki ego yang terlalu besar untuk bisa menjadi budak dari seseorang—kecuali budak dari rakyatnya!” kata Sukarno, sebagaimana dikutip Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Sukarno berteman dengan Khrushchev bukan untuk menjadi komunis, apalagi “begundal Moskow”. Meski berteman akrab, Sukarno tetap konsisten menjaga idealismenya, tidak minder, bahkan pernah mendebat dan mengkritik komunisme yang dianut Khrushchev.

Baca Juga :   Sukarno dan Bulan Muharram (1): Menghormati Muharram karena Kagum terhadap Perjuangan Muhammad dan Husein

Sukarno menyebut dirinya bukan komunis dan tidak bakal menjadikan rakyatnya sebagai komunis. Sukarno juga menegaskan jika bangsa Indonesia mencari jalannya sendiri, tidak bakal mengekor atau meniru sistem komunisme Soviet. “Aku tidak ingin membiarkan mereka (komunis) atau orang lain meniadakan Tuhan di tanah airku!” tegas Sukarno.

Artikel Terkait

Leave a Comment