samudrafakta.com

Rencana Kemenkominfo Bakal Bentuk Dewan Dikhawatirkan Bisa Memperparah Kerusakan Demokrasi di Ruang Digital

Kemenkominfo berencana membentuk Dewan Media Sosial. Dikhawatirkan bakal makin membatasi demokrasi dan ekspresi publik. FOTO: Ilustrasi Canva

Menurut SAFEnet, pembentukan DMS seperti yang dirancang oleh Kominfo saat ini masih sangat kabur dan justru berpotensi berseberangan dengan prinsip awalnya. Sementara itu, kontrol Kominfo atas DMS–menurut SAFEnet–akan menimbulkan penyensoran dan memperparah kerusakan demokrasi dan kebebasan sipil di ruang digital. Ditakutkan, DMS ini nantinya membatasi freedom of speech masyarakat di ranah online.

“Di bawah Kominfo, terdapat potensi konflik kepentingan yang sangat besar, sehingga DMS dapat dimanfaatkan sebagai alat represi digital yang baru. Hal ini justru akan melemahkan posisi masyarakat sipil dan membawa kemunduran bagi demokrasi digital,” tambahnya.

Oleh karena itu, SAFEnet menyarankan DMS harus diisi dengan perwakilan berbagai pihak, seperti akademisi, pembuat konten, masyarakat sipil, pekerja kreatif, jurnalis, kelompok rentan dan minoritas serta berbagai pihak lainnya.

Salah satu poin penting yang ditegaskan oleh SAFEnet adalah DMS tidak boleh melakukan pengawasan.
“Hal yang paling mengkhawatirkan adalah Kominfo memaknai DMS sebagai pengawas konten-konten di media sosial,” kata SAFEnet.

Praktik surveillance (pengawasan) ini dianggap tidak dapat dibenarkan karena dapat memicu swa-sensor oleh perusahaan maupun pengguna media sosial.

Baca Juga :   Awas, Kejahatan Digital Kian Marak, Serangan Rampok Maya Makin Nyata

Selanjutnya, tugas utama DMS hanya boleh memutuskan sengketa antara pengguna dengan perusahaan media sosial atas kerugian-kerugian yang dialaminya.

SAFEnet meminta DMS hanya boleh menilai dan mengawasi aduan terhadap praktik moderasi konten yang dilakukan oleh perusahaan media sosial, bukan melakukan pemantauan dan pengawasan aktif.

Pembatasan atau takedown konten juga hanya bisa dilakukan setelah melakukan three part-test dengan mempertimbangkan prinsip legalitas, necesitas dan proporsionalitas, serta memiliki tujuan yang jelas.
“Semua penilaian ini harus dilakukan dengan menggunakan standar-standar HAM internasional dan memperhatikan konteks lokal sebagai tolok ukurnya,” kata pihak SAFEnet.■

Artikel Terkait

Leave a Comment