samudrafakta.com

Refleksi Cinta Tanah Air #2: Lawan Terorisme dengan Mensyukuri Kemerdekaan

Salah satu upaya penanggulangan aksi teror atas nama agama di Indonesia adalah terus-menerus “mendoktrinkan” pemahaman bahwa pintu surga tak akan terbuka oleh bom bunuh diri. Juga pemahaman bahwa nuansa surgawi yang diburu para martir dengan cara yang keliru itu sudah ada di Indonesia.

Cara untuk memahaminya adalah mengasah rasa syukur atas anugerah Tuhan Yang Mahakuasa bernama Tanah Air Indonesia. Semua pesantren organik di Indonesia pasti mengajarkan itu—baik yang ternaung di bawah Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, maupun yang tak terafiliasi dengan kedua organisasi kemasyarakatan Islam besar itu. Dan salah satu pesantren yang paling militan dalam mengajarkan rasa syukur atas Tanah Air Indonesia adalah Pesantren Majma’al Bahrain Hubbul Wathon Minal Iman Shiddiqiyyah, di Desa Losari, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

Ada yang menarik dari Lambang Shiddiqiyah yang diciptakan oleh pengasuh Ponpes Shiddiqiyyah, Kiai Muchtar Mu’ti atau Kiai Tar, pada 4 April 1972. Dalam lambang yang dicantumkan dalam kartu tanda anggota Keluarga Tarekat Shiddiqiyah itu ada tulisan “BISMILLAHIROHMANIRROHIM”, ayat yang tertulis di tiap-tiap awal surat Al-Qur’an, kecuali Surah Al-Baraa’ah [9].

Ponpes Majma’al Bahrain Hubbul Wathon Minal Iman Shiddiqiyyah, Ploso, Jombang. (dok. Istimewa)

Dalam diksi “basmalah” ada 19 huruf. Bilangan 19 terdiri dari angka 1 dan 9, jika dijumlah menjadi angka 10. Dengan demikian, “basmalah” terdiri dari 19 huruf, sedang jenis hurufnya ada 10. Dari 19 huruf itu ada yang ganda dan ada yang tidak. Huruf yang ganda adalah: “alif”, “lam”, “ra’”, “ha’”, dan “mim”. Sedangkan yang tidak ganda adalah: “ba’”, “sin”, “ha’”, “ya’”, dan “nun”.

Tiap-tiap huruf di dalam Al-Qur’an memiliki makna lahir dan makna batin sekaligus. Ada tujuan yang diusung dengan dituliskannya kalimat “الـرحـيـم الـرحمـن الله بســــــــم” dalam lambang tersebut yaitu: agar para murid dan warga Shiddiqiyyah menginsyafi dan menyadari bahwa Allah itu betul-betul melimpah ruahkan kasih sayang kepada hamba-Nya. Juga agar para murid dan warga Shiddiqiyyah betul-betul merasakan cinta kasih sayangnya Allah di dalam dirinya dan di luar dirinya. Apabila cinta kasih sayangnya Allah itu betul-betul sudah dirasakan di dalam hidupnya, setiap hari dan setiap malam, pastilah akan timbul rasa cintanya terhadap Allah. Apabila di dalam rasa kalbu itu sudah tumbuh rasa cinta terhadap Allah, pastilah akan timbul syukurnya kepada Allah. Karena afhalu du’a as-syukr: doa paling utama adalah rasa syukur.

Tarekat ini mengajarkan tiga hal prinsipil dan sangat penting (muhim jiddan). Pertama, mendidik dan membimbing manusia untuk dekat dan kenal kepada Allah melalui zikir, baik zikir jahr maupun zikir sirr. Kedua, mendidik dan membimbing manusia supaya bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa melalui pelaksanaan ibadah mahdlah, seperti shalat, puasa, dan zikir. Ketiga, mendidik dan membimbing manusia supaya menjadi hamba yang bersyukur (abdan syakura, ibadihi syakur) kepada Allah.

Baca Juga :   Jembatan Francis Scott Key di Kota Baltimore Runtuh Akibat Ditabrak Kapal Kargo Penuh Muatan Kontainer

Syukur atas Nikmat Kemerdekaan

Dalam pandangan Tarekat Shiddiqiyyah, kemerdekaan bangsa Indonesia adalah karunia besar dari Allah. Kemerdekaan bangsa Indonesia diperoleh melalui perjuangan panjang yang dilakukan oleh segenap bangsa Indonesia, utamanya umat Islam. Oleh sebab itu, wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mensyukuri nikmat tersebut dalam bentuk cinta Tanah Air yang dimanifestasikan dengan sikap bela negara, serta rangkaian ritual serta aksi-aksi sosial lainnya. Kewajiban syukur ini sebagaimana perintah Allah dalam QS. Ibrahim [14]: 7 yang berulang kali dikutip oleh ‘elite’ Shiddiqiyyah dalam berbagai momen kegiatan yang mereka helat.

Di antara nikmat besar yang telah diterima bangsa Indonesia adalah nikmat berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI tidak akan ada jika tidak ada kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pun kemerdekaan tidak akan mungkin diperoleh jika tidak ada pertolongan Allah: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaanya”. Sebab, apa mungkin keadaan compang-camping saat itu mampu menghadapi “raksasa putih” (Belanda—pen) dan “raksasa kuning” (Jepang—pen)? Mustahil menurut perhitungan akal, tetapi kenyataannya kemerdekaan terjadi.

Oleh sebab itu, pendahulu negeri ini menyadari bahwa tanpa pertolongan Allah tak mungkin Indonesia bisa merdeka. Dalam konteks mensyukuri kemerdekaan bangsa Indonesia dan berdirinya NKRI, Mursyid Tarekat Shiddiqiyah mengeluarkan seruan khusus kepada seluruh pengikutnya sebagai berikut:

Alhamdulillah, dengan berkat rahmat Allah dan cita-cita Bangsa Indonesia yang luhur. Pada tanggal 9 Romadlon 1365 H/17 Agustus 1945 M Tanah Air kita yang kita cintai lepas dari jahanamnya imperialis putih dan ‘ucul’ dari neraka jahanamnya imperialis kuning. Oleh sebab itu kita sebagai Bangsa Indonesia umumnya, warga Shiddiqiyah khususnya, wajib syukur kepada Allah Ta’ala dan hendaklah membuat peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus itu. Karena membuat peringatan itu menurut Al-Qur’an bermanfaat. Akan tetapi caranya membuat peringatan-peringatan itu haruslah mencontoh Rasulullah Saw. karena Rasulullah itu contoh yang baik, dan memang umatnya harus mencontohnya.”

Seruan ini secara tandas dan gamblang memperlihatkan betapa ajaran agama Islam menjadi spirit nasionalisme. Melalui doktrin syukur, Mursyid Tarekat Shiddiqiyah Kiai Muchtar Mu’thi mengajak komunitasnya untuk menghargai dan mengingat kembali jasa para pahlawan kemerdekaan yang telah berjuang dengan segenap jiwa dan raga demi kemerdekaan bangsa Indonesia. Mengingat kembali jasa para pahlawan, bagi pengikut Shiddiqiyah, adalah bagian dari ungkapan syukur kepada manusia sebagaimana diajarkan Kanjeng Nabi Saw.

Baca Juga :   DHIBRA Salurkan 300 Paket Santunan untuk Korban Banjir Demak, Kudus, dan Pati di Lokasi Pengungsian Mandiri

Dalam mengekspresikan rasa syukur tersebut, komunitas Shiddiqiyah mempunyai cara tersendiri yang berbeda dengan tarekat-tarekat lain di Indonesia khususnya, dan dengan umat Islam di Indonesia pada umumnya. Mursyid Tarekat Shiddiqiyah menganggit lima jilid kitab berjudul Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang di dalamnya berisi tuntunan tata-cara praktis mensyukuri nikmat kemerdekaan, antara lain dengan berpuasa sehari tepat pada tanggal 17 Agustus; mengadakan doa bersama dan sujud syukur selama tiga hari tiga malam dari tanggal 18-20 Agustus; kemudian disempurnakan dengan gerakan santunan anak yatim sampai progam pembangunan rumah layak huni Shiddiqiyyah untuk fakir miskin. Semua itu dilakukan dalam rangka mensyukuri nikmat kemerdekaan Bangsa Indonesia dan berdirinya NKRI.

Dalam Kitab Al Durar al Muntatsirah fi al Ahadits al Musytaharah, karya Jalaluddin as-Suyuthi, terdapat teks  sabda Kanjeng Nabi Saw., “hubbul wathon minal iman”. Ada seorang ulama yang mengomentari bahwa maknanya “sahih dan ajaib’”. Terinspirasi oleh teks hadist tersebut, Kiai Tar merenungkan betapa benar dan menakjubkannya makna “cinta Tanah Air bagian dari iman”.

Menurut Kiai Tar: “Di Indonesia ini ada sebuah danau maknawi maul hayat yang airnya kilau-kemilau sejuk, hidup menghidupkan, dan di dalamnya mengandung permata maknawi bagai zamrud, berlian yang tak ternilai harganya. Jika ‘diminum dan untuk mandi’, jiwa-jiwa bangsa ini menjadi bangsa yang ‘hidup segar dan sehat’. Danau maul hayat tersebut bersumber dari seluruh tokoh terbaik Indonesia dengan berbagai agama dan aliran yang berjiwa ‘Cinta Tanah Air bagian dari iman’. Wujud danau itu adalah pembukaan UUD 45. Sehelai kertas itu mengandung makna seperti lautan tak bertepi, ada permata keimanan, permata berkat, rahmat, akhlak, akidah, dan cita-cita luhur yang nilainya lebih baik dari 350 tahun ‘saat yang berbahagia dengan selamat sentosa.’ Tetapi sayang, danau itu kini telah tertimbun oleh ‘lumpur’ sifat-sifat yang bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Hal ini sudah diamanatkan oleh pendiri negara bahwa itulah hakikat penjajahan. Karenanya, kini danau itu harus kita bersihkan, sebab jika tidak, semuanya akan macet. Maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Kitab Al-Quran, Weda, Tripitaka, Bibel, dan seluruh undang-undang di dunia ini tidak memiliki tangan dan kaki. Artinya, aturan itu tidak bisa berbuat sendiri, tidak bisa berjalan sendiri, dan manusialah yang harus menjalankannya. Jika tidak ada yang menjalankannya, maka hilanglah manfaatnya. Jika danau maknawi itu diminum melalui pendidikan dan masuk dalam jiwa bangsa, Indonesia akan selamat. Karena di situ (danau maknawi) sistemnya persis sistem syukur, dan sistem syukur persis sudah diatur dalam UUD ’45.

Baca Juga :   Catatan Sejarah Membuktikan NKRI Lahir pada 18 Agustus 1945, Bukan 17 Agustus

Adapun syukur adalah jalan mencapai baldatun thayyibatun. Bersyukurlah kamu, negara akan menjadi negara thayyibah! Hakikat syukur adalah mengamalkan tiga buah titik yang ada di dalam huruf “syin”. Titik pertama, ilmun, artinya mengetahui sumber nikmat, mengetahui wujudnya nikmat, dan mengetahui untuk apa nikmat di berikan. Titik kedua, farhun, artinya gembira karena mengetahui sumber nikmat, yakni Allah, gembira karena mengetahui wujud nikmat, dan gembira karena mengetahui tujuan nikmat itu di berikan. Sedangkan titik ketiga, amalun, maksudnya mengelola nikmat menurut ridha Allah Ta’ala.

Peristiwa ajaib lain yang sangat menakjubkan dan bersumber dari jiwa cinta Tanah Air bagian dari iman juga terjadi di sebuah gedung No. 106 Gang Kenari Jl. Kramat Raya, Jakarta Pusat, di bulan 10 pada tanggal 1928. Peristiwa itu adalah Sumpah Pemuda dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Di rumah No. 106 (1 + 6 = 7) ini menimbulkan 7 keajaiban. Keajaiban ini, antara lain, ajaibnya nama, ajaibnya penyaksian, ajaibnya para pelakunya, ajaib objeknya, ajaib kebenarannya, ajaib latar belakangnya, dan ajaib latar mukanya. Tentang ajaibnya penyaksian.

Saat itu putra-putri Indonesia berikrar tentang “satu nusa” yang disaksikan oleh tahun 19 (1+ 9 = 10). Angka sepuluh jika dijumlah sama dengan satu (1 + 0 = 1), yang berarti “satu nusa’”. Kemudian ikrar “satu bangsa” disaksikan oleh tahun 28 (2 + 8 = 10). Jumlah 10 sama dengan “satu bangsa’”. Lalu ikrar “satu bahasa”, disaksikan oleh bulan 10. Angka sepuluh di sini berarti “satu bahasa”. Jadi, ikrar “satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa” pada tanggal 28 itu sebagai penyaksian satunya Negara Republik Indonesia yang disingkat dengan nama gang tempat pelaksanaan acara, yakni Kenari: Kesatuan Negara Republik Indonesia.

Sedangkan Jl. Kramat Raya berarti “menuju kemuliaan yang besar”. Padahal waktu itu para pemuda yang berikrar usianya sekitar 20-25 tahun, tetapi mereka memiliki keberanian luar biasa. Keberanian lintas suku, berani lintas agama, dan berani mendobrak berhala imperialisme.

Dan berselang 17 tahun kemudian, kemerdekaan Bangsa Indonesia tercapai. Jadi, ada benang halus antara Sumpah Pemuda dan Sumpah Palapa.

Teladan nyata telah dan akan terus dipraktikkan oleh Pesantren dan warga Tarekat Shiddiqiyah. Namun, celakanya, mereka sempat dituduh sesat, ekstrim, radika oleh para pembencinya.(Faried Wijdan al-Jufry | bersambung)

Artikel Terkait

Leave a Comment