samudrafakta.com

Refleksi Cinta Tanah Air #1: Terorisme adalah Perilaku Kufur Nikmat

“Kalau anda mau mengimpor Talibanism, ISIS, Al-Qaidah ke Indonesia bukan hanya keblinger. Anda kufur nikmat, anda menghancurkan citra surga yang ada di Al-Quran yang ada di Indonesia. Berpikir ulanglah. Jagalah Indonesia ini. Indonesia ini surga. Maka kita jangan ikut-ikutan menghancurkan diri dengan paham-paham tersebut. Pikiran-pikiran seperti itu harus dihilangkan,” demikian Allahu yarham Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. menyampaikan pendapat dalam diskusi bertajuk “Peran Pemerintah dan Pesantren dalam Penanggulangan Ekstrimisme/Terorisme”, di Hotel Cemara, Jakarta Pusat, 25 Mei 2018.

Aksi bom bunuh diri ‘lone wolf‘ terjadi lagi, 7 Desember 2022, pukul 8.20 WIB, menyasar kantor Mapolsek Astanaanyar, Kota Bandung. Serangan berlangsung ketika para personel sedang menggelar giat apel pagi.  Dilaporkan satu polisi syahid, sembilan personel lainnya luka berat dan ringan. Menurut informasi dari Kepolisian RI, terduga pelaku adalah Agus Sujatno, eks napiter berstatus merah, yang juga mengotaki aksi bom Cicendo pada tahun 2017. Dia pernah dibina di Lapas Nusakambangan, Cilacap. Status merah, menurut Ketua BNPT Komjen Boy Rafli Anwar, adalah narapidana terorisme yang susah atau menolak program deradikalisasi. Susah diajak bicara, diskusi, dan anti-kompromi.

Bom bunuh diri sejatinya adalah aksi menuruti ego, nafsu, dan kepentingan pribadi pelakunya. Bukan jihad membela Tuhan, agama, dan umat. Termasuk satu tindakan keputusasaan (al-ya’su) dan kufur nikmat. Para teroris adalah para kufur nikmat, sebagaimana menurut Imam Al-Ghazali, adalah mereka yang menggunakan kenikmatan yang Allah berikan pada jalan-jalan yang tidak diridhai Allah Swt. Kufur adalah mengingkari nikmat yang telah diberikan Allah, di mana hatinya tidak mengakui bahwa semua nikmat yang diterima merupakan pemberian dari Allah, lisannya tidak memuji atas nikmat yang Allah berikan, dan anggota tubuhnya tidak digunakan untuk beramal salih, berbuat kebaikan, dan kemaslahatan, tetapi malah menimbulkan keburukan dan kerusakan!

Kufur nikmat merupakan perbuatan tercela dan nista. Secara moral, pengingkaran atas kebaikan orang lain merupakan perbuatan buruk secara etis. Kufur nikmat hanya dilakukan oleh orang yang memiliki standar moral yang rendah. “Kufur nikmat adalah hina, maksudnya tidak mensyukuri nikmat merupakan tanda kerendahan diri seseorang.” (Syaikh Nawawi Al-Bantany, dalam kitab Nashaihul Ibad, Daru Ihayil Kutubil Arabiyyah, tanpa tahun, halaman 7).

Mensyukuri Nikmat Indonesia dengan Menjaganya

Doa dan zikir paling utama adalah syukur. Jika kamu tidak mampu berdoa panjang, cukupkan doamu dengan bersyukur, berzikir alhamdulillah, yang melahirkan sikap syukur atas segala karunia nikmat dan rahmat-Nya. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa dalam banyak ayat Al-Qur’an, mengingat Allah (dzikr) selalu dipertautkan dengan perintah mensyukuri nikmat-Nya. Misalnya pada QS. Al-Baqarah [2]: 152: “fadzkuruni adzkurkum washkuru li wa la takfurun (dan ingatlah Aku, niscaya Aku mengingat. kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kalian berlaku kufur kepada-Ku)”.

Baca Juga :   Bom Bunuh Diri di Polsek Astana Anyar, Pelakunya Tunggal

Syukur, sebagaimana dikatakan Ibn Mas’ud, adalah sebagian dari iman. Syukur adakalanya dengan hati, lisan, dan perbuatan. Syukur dengan hati ialah dengan meniatkan diri untuk melakukan kebaikan atas makhluk; syukur dengan lisan ialah dengan mengucapkan kata-kata pujian bagi Allah; dan syukur dengan perbuatan ialah dengan mendayagunakan kenikmatan-kenikamatan Allah tersebut untuk memaksimalkan ketaatan pada-Nya.

Menurut Syaikh Junaid Junaid Al-Baghdadi, “Syukur itu adalah kau tidak bermaksiat kepada Allah dengan nikmat-Nya.” Sedangkan menurut Abu Bakar Al-Warraq, sebagaimana penulis kutip dari Kitab Mawa’izh al-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, yang di-tahqiq oleh Shalih Ahmad dan Syekh Tosum Bayrak, “Mensyukuri nikmat berarti menyaksikan anugerah dan menjaga kesuciannya.”

Syukur atau pengakuan atas pemberian orang lain, dalam hal ini nikmat Allah, adalah sebuah kebijaksanaan yang lahir dari kesadaran dan kerendahan hati. Mensyukuri nikmat Allah sejatinya adalah kebutuhan makhluk, karena kebaikan itu tidak berpulang kepada Allah, tetapi kepada dirinya sendiri sebagai bentuk adab kepada Sang Maha Pemberi: “Sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu ‘Bersyukurlah kepada Allah. Siapa saja yang bersyukur, maka sungguh ia bersyukur untuk dirinya sendiri. Tetapi siapa saja yang tidak bersyukur (kufur nikmat), maka sungguh Allah Maha Kaya, Maha Terpuji’.” (Q.S: Luqman, ayat 12).

Para teroris yang kerap melakukan aksi teror memiliki alasan ingin mendapatkan surga. Padahal, surga itu ada di Indonesia. Jadi, kalau ada gambaran surga di Al-Quran—banyak air mengalir, gemercik, hijau, banyak buah yang tumbuh—itu semua ada di Indonesia. Syaikh Mahmud Syaltut, teman Bung Karno dan Buya Hamka, Grand Syaikh Al-Azhar (1958–1963) pernah berucap: “Indonesia serpihan potongan surga yang diturunkan oleh Allah di bumi”. Pujian spontan ini dia sampaikan saat berkunjung ke Indonesia pada tahun 1961. Dia takjub melihat alam Pasundan, Minangkabau, Jawa, Sulawesi, dan lain-lain.

Si Clurit Emas, penyair Zawawi Imran mempuisikan keindahan Indonesia dengan, “Gunung biru, berselendang awan. Hamparan padi menguning laksana permadani keemasan. Di atasnya burung-burung kecil menyanyikan keagungan Tuhan. Di tepi-tepi pantai, buih-buih putih berkejaran mengecupi bibir pantai. Dan di pantai-pantai yang lain, daun-daun nyiur melambai-lambai mengucapkan selamat datang kepada para pahlawan, nelayan yang membawa ikan dari laut.”

Indonesia dianugerahi 1.001 pesona, mulai alam, budaya, kuliner, hingga kesenian dan adat istiadat yang beragam. Dalam keanekaragaman hayati, Indonesia menempati posisi ketiga setelah Brasil dan Kolombia. Dari seluruh jenis amfibi yang ada di dunia, Indonesia memiliki 4,6 persen; 12,2 persen jenis mamalia; 7,1 persen jenis reptile; 14,1 persen jenis ikan; dan 10,9 persen jenis tumbuhan berpembuluh. Keelokan yang dimiliki Indonesia membuat sebuah laman panduan perjalanan daring asal Inggris, Rough Guides Ltd, mencatatkan nama Indonesia sebagai salah satu negara yang paling cantik di dunia bersama 10 negara lainnya, di antaranya Kanada dan Skotlandia.

Baca Juga :   Perlu Dialog Lintas-Agama untuk Melahirkan Agen Perubahan yang Inklusif dan Cinta Damai

Belum lagi anugerah berupa kondisi geografis yang strategis dan iklim tropis, membuat Indonesia cocok menjadi hunian yang ideal bagi seluruh makhluk hidup. Selanjutnya adalah kenikmatan berupa negara yang damai dan sentosa bernama Indonesia. Pemeluk Islam bisa mengerjakan shalat lima waktu, berzakat, puasa Ramadan, berhaji, berwakaf, berinfak dan sedekah, menggelar istigatsah, pengajian dan mejelis taklim dengan aman, nyaman, dan tenteram. Bahkan sebagian difasilitasi oleh pemerintah dan negara—yang kadang justru mereka tuduh sebagai taghut dan kafir.

Indonesia adalah rumah kita yang harus disyukuri keberadaannya dengan cara mencintai dan menjaganya. Sebab, kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang yang beragama Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia. Jagalah Indonesia ini. Indonesia ini surga. Siapa yang di dalam hatinya tidak punya rasa keindahan, tidak punya mata estetika, tidak akan bisa melihat alam semesta ciptaan Allah sebagai sesuatu yang indah.

Jihad Salah Kaprah

Para pelaku terorisme selalu pede berkeyakinan bahwa apa yang mereka lakukan adalah jihad, amaliyah istisyhadiah (operasi, aksi untuk mencari kesyahidan) demi agamanya.  Penulis menghargai dan menghormati keyakinan, ideologi, dan tafsir agama versi beginian. Silakan diyakini dan dipedomani. Tetapi, apa mereka tidak menyadari bahwa aksi mereka menumpahkan darah, membunuh orang-orang baik, saudara seagama dan sebangsa sendiri, merusak (ifsad), menimbulkan rasa takut (irhab), dan faktanya mencelakakan diri sendiri (ihlak an-nafs) itu adalah celaka yang luar biasa? Siapa yang membunuh satu nyawa sama saja membunuh semua manusia. Ini Al-Quran yang berkata, bukan ustadz, kiai, atau penceramah. Lantas apa pantas mereka dianggap kembali, dan berpedoman kepada Al-Quran?

Hadis Kanjeng Nabi Saw menyebutkan, “Al-muslimu man salima al-muslimuna min lisanihi wa yadihi—Seorang muslim adalah yang umat muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya. Ini terjemah tekstualnya. Kalau kita paparkan secara lebih luas, kira-kira adalah: seorang muslim sejati adalah siapa saja yang lisan dan tangannya tidak melukai orang lain. Apa pantas pelaku bom bunuh diri dianggap seorang muslim kaffah (par excellent)?

Jihad akbar sejati adalah perang melawan hawa nafsu. Seseorang atau kelompok Muslim yang belum melakukan tazkiyatunnafs (pembersihan jiwa dari hawa nafsu) tidak boleh melakukan jihad yang berarti perang. Apalagi kalau jihad hanya didasarkan pada kemarahan, dengki, hasad, cemburu, atau kepentingan-kepentingan duniawi. Misalnya untuk mendapatkan kepentingan ekonomi dan politik.

Baca Juga :   Ternyata 6 Negara Ini Pernah Jadi Bagian dari Indonesia

Sejak ajaran-ajaran agama jadi alat legitimasi kekuasaan pasca-Khulafaur Rasyidin, ajaran jihad ikut mengalami degradasi dan manipulasi. Sungguh ironis, ajaran jihad untuk mengembalikan manusia kepada kesejatiannya sebagai manusia, sebagai khalifah Allah, dengan melakukan pembersihan jiwa, malah dijadikan sebagai ajang penyuburan nafsu kehewanan untuk menyerang dan menghancurkan, menumpahkan darah, serta membuat kerusakan di bumi.

Sekembalinya dari perang Uhud, Kanjeng Nabi Saw. berkata: “Kita kembali dari miniatur jihad menuju jihad yang agung, yakni jihad melawan hawa nafsu”. Perang Uhud adalah miniatur jihad melawan nafsu karena dalam perang yang menang adalah yang memegang kontrol dan kendali. Manusia yang berhasil memegang kontrol dan kendali dirinya sendiri akan menemukan kesejatian. Dengan begitu ia menjadi khalifah, asisten Tuhan untuk menyebarkan kebaikan di antara segenap umat manusia. Pada akhirnya, jihadunnafs membuat manusia merefleksikan sifat-sifat Tuhan dan memiliki karakter ketuhanan. Jihad al-nafs dan tazkiyah al-nafs—merupakan bagian tak terpisahkan dari mahabah (cinta).

Makna jihad ada dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Jika pemaknaannya berangkat dari perspektif dialog dengan diri sendiri, dan mengalami proses internalisasi, maka semangat jihad bukanlah semangat menyerang yang lain, melainkan menjadi kekuatan spiritual dalam kepribadian setiap orang untuk berjuang meraih sukses di bidang apa pun dalam kehidupan. Dengan demikian, jihad tidak lagi dijadikan sekadar bahan pidato memprovokasi umat agar menyerang golongan lain.

Soal pemaknaan jihad sebagai kesukaan menyerang sesama manusia, suka membuat kerusakan dan pertumpahan darah hanya karena beda pandangan dan pemikiran, yang tecermin dalam perilaku sebagian orang, itu jauh dari esensi jihad. Orang yang beranggapan syahid dengan melakukan hal-hal seperti itu boleh jadi seperti yang dimaksud QS. Al-Kahfi: 104, yaitu: “…orang-orang perbuatannya sia-sia tidak bernilai dan tidak berkualitas, tetapi mereka tetap beranggapan sedang berbuat baik”.

Meraka adalah pengamal cinta transaksional yang menjerumuskan ke dalam kebencian lantaran dikuasai oleh hasrat-hasrat hendak memenuhi pamrih. Sedangkan cinta sejati dapat menerima apa pun yang lahir dari Tuhan, kekasihnya, sebagai kebaikan semata. Boleh jadi terorisme atas nama agama lahir dari pengajaran logika transaksional, ketika seseorang didoktrin agar rela mati demi mendapatkan surga dan bidadari. Dalam konteks hasrat-hasrat tersebut, Mbah Wali Syekh Junaid Al-Baghdadi menilai cinta transaksional lebih militan, di mana seseorang tak kuasa menahannya. Itu semua adalah semata-mata dorongan nafsu. Dan tunduk pada dorongan nafsu, itulah kufur yang kaffah. (Faried Wijdan al-Jufry|Bersambung)

 

Artikel Terkait

Leave a Comment