Dari sini kita bisa melihat, ada sebagian orang dari kalangan sahabat dan Tabi’in, yang telah berupaya sesuai posisi dan kapasitas intelektual masing-masing, untuk mendamaikan kubu-kubu yang berkonflik dan bersikap toleran. Salah satu contohnya adalah Abu Musa Al-Asy’ari, yang hanya bisa lebih pasif. Ada juga sahabat lain, seperti Umar bin Khatthab dan ‘Ammar bin Yasir, lebih aktif dan progresif.
Di sinilah kemudian, sikap-sikap Abu Musa al-Asy’ari dan ‘Ammar bin Yasir dibaca oleh teoritikus politik Islam berikutnya. Misalnya, Abul Hasan Ali Al-Mawardi (w. 450), dalam kitab Adab Al-Din wa Al-Dunya, mengajarkan satu prinsip utama dalam politik Islam, yang disebut “persaudaraan atas dasar kasih sayang”. Konsep “persaudaraan atas dasar kasih sayang” ini merupakan ciri khas politik Islam, yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. sejak pertama kali hijrah ke Yatsrib.
Menurut Al-Mawardi, ada dua jenis persaudaraan. Pertama, persaudaraan yang dibangun karena kesepakatan, dan kedua, persaudaraan yang dibangun karena memiliki tujuan dan usaha bersama.
Jenis pertama lebih kuat dari pada jenis kedua, karena persaudaraan yang dibangun atas dasar kesepakatan memiliki alasan-alasan yang menguatkannya (Al-Mawardi, Adab Al-Din wa Al-Dunya, 2013:262).
Apa yang dilakukan oleh Abu Musa Al-Asy’ari dan asisten pribadinya yang beragama Yahudi adalah bentuk persaudaraan yang didasarkan atas kesepakatan, profesionalitas, tanpa mencampuradukkan antara pekerjaan dan keyakinan beragama.
Abu Musa menghargai asistennya untuk tetap memeluk agama Yahudi, dan pada saat yang sama mempekerjakannya sebagai asisten dengan tugas tertentu. Inilah contoh toleransi, pluralisme moderatisme, dan profesionalisme dalam politik Islam.■
