samudrafakta.com

Politik Islam (1): Bukan Implementasi Syariat, Pemimpin Politik Hanya Mengurus Duniawi

Ilustrasi.

Dengan status ontologis yang independen semacam itu, dalam pandangan Al-Ghazali, agama (الدين) dan kekuasaan (الملك) adalah dua saudara kembar (توأمان) yang lahir dari rahim ibu yang sama. Karena saudara kembar, maka tugas politik adalah menjauhi kemungkaran, hawa nafsu, syubhat, dan segala perbuatan yang mengurangi kehormatan agama (Al-Ghazali, At-Tibru Al-Masbuk fi Nashihah Al-Muluk, 1988: 43-50).

Alhasil, politik Islam bukan tentang implementasi syariat agama di dalam politik. Tugas seorang penguasa juga bukan untuk menjalankan syariat agama. Jika meminjam istilah Al-Ghazali, politik Islam bertugas untuk urusan-urusan duniawi dan menjalankannya tanpa menciderai kesucian syariat. Sebagai dua saudara kermbar, kekuasaan dan politik harus saling melengkapi satu sama lain. Dalam istilah Al-Mawardi, syariat bisa menjadi penasehat bagi praktik politik Islam.

Gagasan kontemporer oleh sebagian kelompok muslim yang menyebut bahwa politik Islam harus mengimplementasikan syariat agama, sama halnya menyuruh seorang adik memikul beban tanggungjawab kakaknya.

Politisasi agama seperti yang kerap disalahpahami selama ini bukan lagi menjadikan syariat sebagai penasehat politik, melainkan upaya menjadikan politik kaki tangan syariat. Hal itu menciderai peran seorang saudara atau peran penasehat di hadapan orang yang dinasihatinya.

Baca Juga :   Wacana Tunda Pemilu Muncul dari Faksi dalam Istana

Dalam hal ini, padangan Imam Haramain Al-Juwaini sangat tegas dan lugas. Di dalam menjalankan tugas-tugas keduniawiannya, politik harus mengandalkan akal sehat. Dengan akal sehat, pemimpin merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan, menjamin kemaslahatan rakyat, mencegah konflik dan disintegrasi, serta memastikan syariat agama bisa dijalankan dengan maksimal.

Begitulah politik Islam harus dipahami dan dijalankan.▪️

Artikel Terkait

Leave a Comment