samudrafakta.com

Politik Islam (1): Bukan Implementasi Syariat, Pemimpin Politik Hanya Mengurus Duniawi

Ilustrasi.

Kelompok kedua berpendapat, dasar politik adalah syariat. Sebab, tugas pemimpin juga menyangkut urusan agama. Kadang kala, agama mewajibkan untuk mengerjakan perbuatan tertentu yang tidak diwajibkan oleh akal. Perkara akal sendiri mampu memutuskan bahwa kriminalitas dan konflik harus dihindari, hal itu juga diatur dalam syariat. Pandangan ini digawangi oleh kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sunlthaniyah, 2006: 15-16).

Ketika Imam Al-Mawardi tampak ragu-ragu dalam mengambil sikap di antara Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah wal Jamaah, sehingga mendorongnya masuk dari pintu lain, berupa keharusan pemimpin menerima saran dan kritik, Imam Haramain Al-Juwaini (w. 478 H.) jauh lebih tegas dalam mendukung akal sebagai dasar politik Islam. Imam Al-Juwaini, sebagai guru Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H.), adalah tokoh sentral Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Imam Haramain Al-Juwaini, dalam kitab Ghiyatsul Umam fi Iltiyasi Dholam (1997) mengatakan, “Telah sungguh nyata, berdasarkan banyak aspek penting dan bukti-bukti nyata, kesalahan pendapat para pendukung nash-nash (syariat), dan dengan begitu tidak ada lagi yang tersisa kecuali hukum keabsahan ikhtiar.”

Baca Juga :   ASN Tak Boleh Komentari, Sukai, dan Bagikan Unggahan Medsos Peserta Pemilu

Bagi Al-Juwaini, politik Islam tidak berdasarkan dalil syariat agama, dengan adanya bukti kuat pengalaman panjang para Khalafaurrasyidin. Abu Bakar ash-Shiddiq diangkat melalui proses bai’at, Umar bin Khatthab melalui proses pergantian yang menggantikan Abu Bakar, Usman bin Affan melalui musyawarah tim formatur yang berjumlah 6 orang, dan Ali bin Abi Thalib meminta bai’at. Orang-orang yang pertama kali berbaiat kepada Ali bin Abi Thalib antara lain adalah Thalhah dan Zubair—yang kelak jadi musuhnya.

Murid terbesar Imam Al-Juwaini bernama Abu Hamid Al-Ghazali. Menyangkut masalah ini, Al-Ghazali mengembangkan wacana Al-Mawarni.

Status ontologis politik bukan lagi sebatas salah satu dari dua tugas utama penguasa. Sebaliknya, politik dan politisi menjadi independen dari tugas menjaga agama. Bagi Al-Ghazali, Allah Swt. menciptakan dua kelompok manusia di antara keturunan Nabi Adam as., para rasul, dan para penguasa.

Para nabi dan rasul ini bertugas mengajari manusia tentang tata cara beribadah kepada Tuhan, serta menerangkan jalan untuk menuju kepada-Nya. Sementara para raja dan penguasa bertugas untuk mencegah konflik di antara sesama manusia, memastikan kesejahteraan hidup dengan aturan perundangannya. Dalam konteks inilah, kata Al-Ghazali, “as-Sulthan zhillullah fi ardhihi” (Penguasa adalah bayangan Tuhan di muka bumi).

Baca Juga :   Jokowi Dukung Prabowo Sejak Awal

Artikel Terkait

Leave a Comment