samudrafakta.com

Pejabat Kemendikbudristek Sebut Pendidikan Tinggi Mahal karena Bukan Kebutuhan Pokok, Kok Bisa?

Ilustrasi.
JAKARTA — Momentum Hari Kebangkitan Nasional tahun ini diwarnai polemik dunia pendidikan di Indonesia. Wacana terkait biaya kuliah yang tinggi menjadi momok bagi masyarakat awam yang ingin pintar dengan belajar di jenjang pendidikan tinggi. Namun, di sisi lain, otoritas pendidikan nasional justru menyebut jika pendidikan tinggi bukan hal wajib. Seolah tak penting-penting amat. Kok bisa?

Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dinilai ugal-ugalan–yang bahkan kenaikannya mencapai dua kali lipat atau lebih–belakangan ini menuai aksi protes dari para mahasiswa. Mereka menuntut agar pihak rektorat dan pemerintah meninjau kembali kebijakan kenaikan UKT dan mencari solusi yang dianggap lebih pro-rakyat. Sebab, jika ongkos pendidikan tinggi terlalu mahal, mahasiswa khawatir mereka tidak bisa mendapatkan akses karena tidak punya duit.

Di tengah munculnya protes massif di kampus-kampus, Pelaksana Tugas (Plt.) Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Tjitjik Srie Tjahjandarie, mengeluarkan pernyataan yang ‘agak laen’. Kata dia, belajar di perguruan tinggi atau kuliah tidak wajib. Itu, katanya, adalah kebutuhan tersier.

Baca Juga :   ITB Gaet Pinjol Buat Mahasiswa Bayar UKT, Ini Kata Pakar Ekonomi dari Surabaya

Soal kenapa UKT tinggi, kata Tjitjik, itu agar penyelenggaraan pendidikan tinggi bisa memenuhi standar mutu.

“Dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi, bukan wajib belajar. Artinya, tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK, itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan,” kata Tjitjik, sebagaimana terekam dalam video yang tengah ramai di media sosial X, Jumat (17/5/2024) pekan lalu.

Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Sesditjen Diktiristek Kemendikbudristek), Tjitjik Srie Tjahjandarie. FOTO: KRJogja.

Pengamat Semiotika Bahasa dari ITB, Acep Iwan Saidi menilai pernyataan Tjitjik Sri yang mengatakan kuliah adalah tertiary education atau pilihan, adalah ucapan ngawur.

Menurutnya, pernyataan itu merupakan ekspresi semiotis dari birokrat yang sama sekali tidak memahami dunia pendidikan. “Analoginya, seperti karyawan toko buku, yang hanya tahu buku itu barang dagangan, barang kelontongan,” kata Acep, dikutip dari Inilah.com, Ahad (19/5/2024).

Artikel Terkait

Leave a Comment