samudrafakta.com

Menikmati Toleransi dalam Kuliner Khas Kota Kretek

Intoleransi menjadi isu rutin yang muncul setiap menjelang akhir tahun Masehi di Indonesia. Fenomena ini sebenarnya aneh, karena sifat nirtoleran bukanlah khas Bangsa Indonesia. Buka mata benar-benar dan lihatlah, banyak hal bersebaran di sekitar kita yang mengajarkan bahwa karakter asli kita ini adalah toleran terhadap sesama. Salah satunya seperti jejak toleransi yang direkam dengan baik oleh kuliner khas Kota Kretek Kudus: sate daging kerbau.

 

Sate kerbau—juga pasangannya, sop kerbau—lahir sebagai salah satu bentuk praktik toleransi yang awet sampai sekarang. Kuliner khas Kota Kretek ini mulai diperkenalkan di zaman ketika Sunan Kudus berdakwah. Dalam menyebarkan agama Islam di wilayah dakwahnya, Sunan Kudus menghormati masyarakat setempat yang mayoritas aslinya menganut agama Hindu dengan tidak mengonsumsi daging sapi. Sang Sunan menganjurkan pemeluk Islam untuk mengonsumsi daging kerbau. Kebiasaan tersebut terpelihara hingga kini.

Dan saat ini, berziarah ke Kota Kretek tak lengkap  rasanya tanpa memanjakan lidah dengan sate kerbau—warisan semangat toleransi Sang Sunan itu. Bersama soulmate-nya, sop kerbau, kuliner ini tersebar hampir di setiap sudut Kota Kudus.

Baca Juga :   6 Rekomendasi Bakso Terenak di Surabaya

Salah satu penyaji sate dan sop daging kerbau yang cukup kondang adalah warung Sate Kerbau Menara. Lokasinya tak jauh dari menara Kudus. Warung sederhana ini sudah ada di situ sejak lebih dari 50 tahun lalu. Penjualnya turun temurun, sudah lebih dari tiga generasi. Meski warungnya sederhana, pengunjung yang datang bukanlah orang-orang sembarangan. Pakar kuliner, alm. Bondan Winarno, pun pernah memanjakan lidahnya di tempat ini.

 

Menu yang ditawarkan tidaklah banyak. Sate dan sop kerbau adalah “dinamit duo” andalan warung ini.

Sate kerbau disajikan dengan kuah kacang berwarna pucat, sedangkan daging satenya berwarna cokelat kehitaman. Daging kerbau yang dimasak dalam durasi yang cukup lama ini menghasilkan tekstur daging yang lembut. Bumbu rempah yang meresap terasa dominan di area lidah dan rongga mulut.

Rasa dagingnya cenderung manis, karena dimasak dengan campuran gula merah—selain juga dengan ketumbar, jinten, bawang merah, bawang putih, serta bumbu rahasia yang sudah diturunkan sejak generasi pertama.

Sedangkan sop kerbau tersaji dalam wadah porselen mungil. Aroma bawang putih yang menjadi topping-nya membuat rasa gurih kuahnya semakin kuat. Potongan daging kerbau yang empuk, bercampur taburan tauge segar yang krenyes-krenyes renyah, terasa ringan dan segar, apalagi dinikmati di cuaca dingin hujan seperti akhir-akhir ini.

Baca Juga :   Menjaga Kerukunan Antar-Umat Beragama dengan Satu Tungku Tiga Batu 

Para penyaji sate dan sop kerbau masih mempertahankan cara yang sama seperti asalnya, agar keotentikan rasanya tetap terjaga. Makan semangkuk sop kerbau pastilah kurang, karena porsinya yang mungil. Apalagi rasanya yang enak, tak akan pernah cukup jika makan hanya semangkuk.

Seporsi sate kerbau berisi 10 tusuk dibanderol Rp38 ribu. Sedangkan nasi sop Rp15 ribu. Jika Anda sedang berkunjung ke Kudus, pastikan Sate Kerbau Menara masuk dalam daftar utama wisata kuliner Anda. Warung ini buka mulai pukul 17.00 WIB sampai habis. Semakin malam, warung makin ramai. Yang datang dari berbagai golongan masyarakat: para peziarah dari luar kota maupun warga setempat yang muslim maupun bukan, mulai dari kelas atas hingga menengah.

Inilah jejak-jejak toleransi yang masih bisa dinikmati sampai saat ini hingga masa yang tak terbatas nanti. Di warung sate kerbau ini kita melihat wajah Indonesia sebenarnya: sebuah bangsa besar yang toleran.

(Septia)

Artikel Terkait

Leave a Comment