Syekh Siti Jenar (2): Di Antara Pusaran Kontroversi dan Politisasi 

Masih banyak yang meyakini bahwa pasca-Majapahit, atau di era kerajaan Islam Demak, anggota Wali Songo saling silang pendapat bahkan saling bunuh. Yang paling sering diingat adalah kisah hukuman mati untuk Syekh Siti Jenar oleh para wali karena dianggap sesat dan membangkang. Kisah-kisah seperti itu sebenarnya merupakan kreasi pemerintah Belanda untuk kepentingan politik mereka. Para penulis ‘pesanan’ Belanda mencitrakan Syekh Siti Jenar dan para pengikutnya adalah pembangkang.

Salah satu sumber rujukan yang mencatat bahwa Syekh Siti Jenar merupakan pembangkang adalah Serat Syekh Siti Jenar, yang ditulis Raden Panji Notoroto, seorang Jaksa Belanda pada 1856. Namun, menurut sejarawan Agus Sunyoto, isi serat tersebut jauh menyimpang dengan sengaja membuat cerita tentang konflik antar-anggota Wali Songo.

D.H. Kraemar, seorang penulis Belanda, menjuluki Syekh Siti Jenar dengan Al-Hallaj dari Jawa. Penulis Belanda lainnya, seperti Rinkes dan Zoetmolder, menyebut bahwa Syekh Siti Jenar adalah penganut Syi’ah beraliran Jabariyah dan Qadariyah (Rinkes, De Heiligen van Java) serta pengikut tarekat Rifaiyah (Zoetmolder, ”Pantheisme en Monisme”). Bahkan Kraemer dalam Een Javaansche Primbon menyetempel Syekh Siti Jenar sebagai musuh dalam selimut bagi Islam. “Sering kali dari balik pikiran-pikirannya yang pantheistik, yang berkedok istilah-istilah Islam, terasa sekali polemik yang tajam menyerang Islam secara diam-diam,” demikian Kraemer menulis tentang Syekh Lemah Abang.

Berbeda dengan Kraemer, Abdul Munir Mulkhan menyebut bahwa  Syekh Siti Jenar adalah penganjur Islam dengan gaya akomodatif terhadap kondisi masyarakat pasca-Majapahit. Syekh Siti Jenar, menurut Abdul Munir Mulkan, bicara esensi Muslim, sedangkan wali lainnya mengedepankan bentuk eksklusif dan materil keislaman. Perbedaan antar Wali Songo memang ada. Namun, menurut Abdul Munir Mulkhan, peristiwanya tidak sampai chaos seperti banyak dikisahkan oleh para penulis dari pihak Belanda dan diyakini sebagai kebenaran.

Bacaan Lainnya

Menurut Agus Sunyoto, pola dakwah Syekh Siti Jenar, melalui pengembangan tradisi keagamaan, dianggap paling berhasil. Pola itu pun ditiru oleh Sunan Kalijaga. Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari disebutkan bahwa Syekh Siti Jenar bersahabat karib dengan Sunan Kalijaga, tetapi bukan muridnya (i sedengira Susuhunan Kalijaga mitranan lawan Seh Lema (ha) bang/ tatapinya mangkana dudu sisyanira//).

Kern (1996) yang mengutip Pararaton, memaparkan masuknya Syekh Siti Jenar menjadi anggota Wali Songo berhubungan dengan kisah Syekh Melaya—salah satu gelar Sunan Kalijaga—yang berkaitan dengan Syekh Dara Putih yang berasal dari Pulau Upih, Malaka. Syekh Dara Putih adalah adik Syekh Jumadil Kubra. Dia dikisahkan pergi ke Jawa menemui muridnya, Sunan Kalijaga, yang sedang menghadiri pertemuan para wali yang akan membahas ilmu sejati di Ampeldenta.

Para wali ketika itu bersama-sama akan mendapat bagian dari buah semangka yang diiris menjadi sembilan. Namun, yang datang hanya delapan, sehingga kelebihan satu bagian semangka. Syekh Dara Putih lalu berkata, “Kita butuh satu wali untuk menerima satu bagian semangka. Keluarlah wahai muridku, cari di luar, temukan seseorang di sana,” kata Syekh Dara Putih kepada Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga pun keluar dan dia mendapati Syekh Siti Jenar di depan pintu. Sunan Kalijaga kemudian membawanya ke dalam. Syekh Dara Putih kemudian menerima Syekh Siti Jenar menjadi bagian dari jamaah Wali. Kisah singkat ini menunjukkan bahwa masuknya Syekh Siti Jenar ke dalam jamaah Wali Songo berkaitan dengan Sunan Kalijaga dan guru rohaninya, Syekh Dara Putih. Cerita ini memiliki benang merah dengan sumber naskah kitab Nagara Kretabhumi yang menyebutkan asal-usul Syekh Datuk Abdul Jalil atau Syekh Siti Jenar yang disebut dari Malaka.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *