samudrafakta.com

Kontroversi Mandat untuk PKB: Ketika NU di Simpang Jalan Politik

Kendati tak pernah muncul secara terbuka di permukaan, adanya gejala turbolensi dalam tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terkait relasinya dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)—terutama ketika Pemilihan Umum (Pemilu) kian dekat)—tak bisa dinafikan. Ibarat bara dalam sekam. Simpang jalan yang perlu segera dicari titik temunya.  

Greg Fealy dari Associate Professor pada Department of Political and Social Change, Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University, dalam tulisannya berjudul Nahdlatul Ulama and the Politics Trap—yang diterjemahkan oleh Azis Anwar dan dimuat di New Mandala, 11 Juli 2018—menuliskan bahwa Nahdlatul Ulama (NU)selalu mengalami ketegangan antara perannya sebagai organisasi sipil dan potensinya sebagai basis gerakan politik.

Ketegangan semacam ini tampak paling nyata dalam perdebatan tentang hubungan NU dengan partai-partai politik, khususnya partai-partai yang mengklaim punya hubungan dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) berbasis agama terbesar di muka bumi ini.

Pada puncak rezim Orde Baru tahun 1980-an, NU mengadopsi kebijakan menghindari keterlibatan langsung dalam politik. Tujuannya untuk mengembalikan organisasi ini kepada spirit khittah pendiriannya pada 1926. Piagam pendirian ormas ini melarang anggotanya memegang posisi eksekutif di NU dan partai politik secara bersamaan. Juga mencegah NU mengarahkan para anggotanya untuk mendukung partai politik tertentu.

Baca Juga :   Prabowo Intensif Ketemu SBY Pasca-Pemilu, Politisi PDIP ‘Khawatirkan’ Jokowi

PKB dan Fleksibilitas NU

Setelah Orde Baru berakhir pada 1998, PBNU memfasilitasi pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa alias PKB sebagai partai berbasis nahdliyin. Kala itu Ketua Umum PBNU dijabat oleh KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Namun demikian, Gus Dur ketika itu mengambil sikap berhati-hati, untuk menghindari kesan dukungan terbuka PBNU terhadap PKB.

Meski ada keharusan untuk netral secara politik, kepemimpinan NU, pada praktiknya, mengambil pendekatan fleksibel di era pasca-Soeharto. Mereka seringkali menunjukkan kejelasan preferensi terhadap PKB dibanding partai-partai lain—khususnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang telah didominasi oleh nahdliyin sejak 1999.

Pencapaian elektoral PKB bergantung pada hubungan baik yang dijalinnya dengan NU. Ketika NU diam-diam mendukung PKB dalam pemilu 1999 dan 2004, partai ini meraih suara lebih banyak12 ,6% pada 1999 dan 10,6% pada 2004—dibanding partai-partai Islam lain. Ketika hubungan itu membeku, seperti pada 2009, suara PKB turun di bawah 5%.

Artikel Terkait

Leave a Comment