samudrafakta.com

KH. Wahid Hasyim (2): Pejuang “Ketuhanan Yang Maha Esa”

Abdul Wahid Hasyim punya peran penting dalam upaya perumusan Pancasila, terutama sila pertama. Dia punya peran penting dalam penentuan kalimat redaksi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pada usia 31 tahun, Wahid Hasyim diangkat menjadi anggota Subkomiten Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

“Di situ (BPUPKI—red) Bapak anggota termuda, namun terpilih ikut Tim Sembilan (tim yang bertuhas merumuskan dasar negara menjelang kemerdekaan Indonesia—red). Perannya enggak main-main,” cerita Solahudin Wahid, salah satu putra Wahid Hasyim, dalam wawancaranya dengan Radar Jombang pada 28 Januari 2019.

BPUPKI merupakan badan yang dibentuk untuk menindaklanjuti Maklumat Gunseikan Nomor 23 yang terbit pada 29 April 1945. Gunseikan adalah Kepala Pemerintahan Militer merangkap Kepala Staf Pemerintah Jepang. Maklumat tersebut menjelaskan jika BPUPKI dibentuk sebagai upaya penyelidikan hal yang penting sekaligus penyusunan rencana persiapan kemerdekaan indonesia.

Tugas BPUPKI adalah memusyawarahkan segala hal yang diperlukan setelah Indonesia merdeka, demi mencari formula terbaik jika negara Indonesia terbentuk. Musyawarah yang diiringi banyak perdebatan. Salah satu perdebatan yang cukup sengit dalam rapat badan ini adalah isu-isu terkait hubungan antara agama dan negara.

Baca Juga :   Lahirnya Hari Santri Nasional dan ‘Janji Politik’ Jokowi

Dari musyawarah yang banyak diisi perdebatan itulah lahir Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Piagam inilah yang menjadi cikal-bakal Pancasila. Piagam Jakarta disusun oleh Tim Sembilan—kadang juga disebut Panitia Sembilan—yang diketuai Sukarno. Anggotanya tokoh-tokoh Islam—salah satunya Wahid Hasyim—dan juga para tokoh nasionalis-sekuler.  

Yang menjadi dasar atau sila pertama pada piagam tersebut adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Versi itu dikenal sebagai “sila Ketuhanan dengan tujuh kata.

Menurut catatan jumhur sejarawan Indonesia, tujuh kata pada sila Ketuhanan itu sudah disetujui oleh kubu Islam maupun nasionalis-sekuler yang tergabung dalam Tim Sembilan. Namun, di kemudian hari, redaksional ini menimbulkan protes dari kalangan non-Muslim.

Hampir dua bulan setelah Piagam Jakarta lahir, Bangsa Indonesia memerdekakan dirinya melalui teks Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan oleh Sukarno, didampingi Muhammad Hatta, pada 17 Agustus 1945.

Sehari setelah Proklamasi, 18 Agustus 1945, seseorang yang mengaku sebagai perwira Angkatan Laut Jepang datang kepada Hatta. Si perwira mengaku membawa pesan dari rakyat non-Islam di Indonesia timur,yang merasa keberatan dengan sila Ketuhanan dengan tujuh kata.

Baca Juga :   Aspirasi Warga Nahdliyin Berpotensi Beda-beda di Pemilu 2024, PBNU Imbau Agar Tetap Rukun 

Artikel Terkait

Leave a Comment