samudrafakta.com

KH. Moch. Muchtar Mu’thi (2): Keturunan Nabi yang Membawa Pembaharuan Pengajaran Tarekat

KH. Mochammad Muchtar Mu’thi mempraktikkan metode baru dalam pengajaran ilmu tarekat. Dia ajak orang mengenal Islam melalui tarekat. Bukan sebaliknya, mengenal tarekat melalui Islam, sebagaimana dipraktikkan oleh jumhur kiai. Metodenya berhasil. Pengikutnya terus bertambah. Para pengikut yang ikhlas melakukan sesuatu karena Allah.

Kiai Muchtar Mu’thi lahir pada Ahad Kliwon menjelang fajar, 28 Rabiul Akhir 1347 H/14 Oktober 1928, di Desa Losari, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang. Dia adalah putra keenam dari pasangan KH. Abdul Mu’thi dan Nyai Nasikhah.

Jika merunut nasab kedua orang tuanya, ternyata ulama yang akrab disapa Kiai Tar itu masih keturunan Nabi Muhammad Saw. Dia termasuk Sayyid.

Ayahnya, KH. Abdul Mu’thi, adalah putra KH. Ahmad Syuhada. Sedangkan Kiai Syuhada merupakan cucu Sunan Kalijaga—yang otomatis juga masih keturunan Adipati Wilwatikta, Tuban, Raden Syahur.

Raden Syahur adalah suami dari putri Raja Brawijaya V dari Majapahit. Raden Syahur sendiri merupakan keturunan Ibnu Abbas, paman Nabi Muhammad Saw.

Sedangkan ibu Kiai Tar, Nyai Nasikhah, adalah cucu KH. Ahmad Zamroji—yang merupakan keturunan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati merupakan keturunan Ja’far Sodiq; dan Ja’far Sodiq adalah cucu Zainal Abidin, putra Husain Ra. Dan Husain bin Ali adalah cucu Nabi Muhammad Saw.

Baca Juga :   IMQ, Jenjang D3 Khas Pesantren Shiddiqiyyah yang Mengajarkan Pendidikan “Luar-Dalam”

Kendati secara nasab Kiai Tar terhubung dengan Nabi Muhammad Saw., dia memilih rendah hati. Tak membangga-banggakan keturunan.

Menurut Kiai Tar, yang dimaksud nasab itu tak hanya garis keturunan darah. Ada nasab dari sabab, katanya, yaitu nasab dari keluarga Syekh Muhammad Muchtar Mu’thi. Nasab itu muncul dari sebab seperjuangan, seiman-seagama, sekeyakinan, dan setarekat—bukan dari keturunan darah.

Alkisah, sebagaimana dicatat dalam buku Sejarah Thoriqoh Shiddiqiyyah Fase Pertama, Kelahiran Kembali Thoriqoh Shiddiqiyyah (2015), kelahiran Muchtar Mu’thi ‘disambut’ angin ribut yang melanda Desa Losari. Puluhan rumah hancur berantakan. Puluhan orang meninggal. Pohon-pohon tumbang. Sebuah gudang penyimpanan kayu di bagian utara Losari tak luput dari amukan angin. Bahkan, saking kuatnya empasan sang bayu, atap gudang itu terpelanting jauh hingga dekat Sungai Brantas—yang jaraknya kurang lebih 1,5 km dari gudang.

Masyarakat menyebut kejadian tersebut sebagai prahoro, yang berarti “keributan”. Hampir semua properti penduduk hancur diterpa angin. Hanya ada satu rumah yang masih tegak berdiri. Dan di rumah itulah Muchtar Mu’thi dilahirkan.

Baca Juga :   "Sambung Roso", Cara OPSHID Merawat Budaya Silaturahmi

Losari Rowo—demikian nama Dukuh tempat Muchtar dilahirkan—adalah sebuah dukuh di daerah Sungai Brantas,kurang lebih 10 kilometer sebelah utara Kota Jombang. Disebut Losari Rowo karena lokasi dukuh ini sebelumnya merupakan tanah berawa. Berkat kerja keras Kiai Achmad Syuhada—kakek Muchtar Mu’thi—dan saudaranya, rawa-rawa itu berhasil diubah menjadi lahan yang bisa dihuni.

Selain disebut Losari Rowo, dukuh ini sering juga disebut Losari Pesantren. Nama “pesantren” ditambahkan karena lebih dari setengah abad sebelum kelahiran Muchtar Mu’thi, Kiai Syuhada pernah mendirikan sebuah pesantren di situ, bernama Pesantren Kedungturi.

Kelahiran Muchtar Mu’thi, konon, juga telah diprediksi sejak jauh hari oleh leluhurnya. Ketika Nyai Nasikhah, ibu Muchtar Mu’thi, masih gadis, kakeknya, Kiai Zamroji berkata, “Kelak cucuku Nasikhah ini akan mempunyai seorang anak laki-laki yang nukuli (bisa menumbuhkan sesuatu—red)”.

Artikel Terkait

Leave a Comment