samudrafakta.com

KH. Bisri Syansuri (3): “Yang Anti-Pancasila Berarti Ia Anti Padaku” 

KH. Bisri Syansuri adalah ulama yang tegas menerima Pancasila sebagai dasar negara. Sebagai komitmen penerimaannya , Mbah Bisri pernah tegas menyatakan: “…bila ada orang Indonesia, orang Islam, orang NU, yang anti-Pancasila, berarti ia anti padaku.”  

Pernyataan Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 1971–1980 itu untuk menegaskan bahwa Pancasila seharusnya tidak hanya diterima oleh para politisi yang berjibaku dalam urusan kenegaraan, juga bukan hanya diterima tentara yang bertanggung jawab terhadap pertahanan negara; tetapi juga perlu diterima oleh ulama. Maka dari itu, Mbah Bisri—ulama yang sangat kaliber dan menjadi parameter umat—mencontohkan penerimaan itu.  

Menurut Aang Fatihul Ansori, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Jombang dalam Kiai Bisri Syansuri dan Maklumat Penerimaan Pancasila sebagai Dasar Negara, Mbah Bisri bersikap seperti itu berdasarkan beberapa alasan yang sangat kuat, terkait hubungan erat antara Pancasila dengan Islam. Fakta-fakta hubungan tersebut bisa dilacak dari sejarah lahirnya Pancasila, di mana kelahirannya tak lepas dari peran para ulama Islam—terutama dari kalangan tradisional.

Baca Juga :   PBNU Beri Arahan Terkait Pilpres 2024, Klaim 'Suara Bawah' Cenderung ke Prabowo-Gibran

Salah satu poin paling penting dalam tubuh Pancasila adalah kalimat sila pertama: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.  Dan yang memiliki peran krusial mengegolkan kalimat tersebut dalam Pancasila adalah KH. Wahid Hasyim, ketika menjadi salah satu subkomiten Badan Penyelidik Usaha Persiapaan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), atas petunjuk ayahnya, KH. Hasyim Asy’ari. Kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” menggantikan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa dan kewajiban manjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Subkalimat terakhir dinilai berpotensi menyebabkan perpecahan di tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang majemuk ini.  

Dari sudut pandang kebangsaan, terma “Ketuhanan Yang Maha Esa” dinilai lebih sesuai dengan semangat Bhineka Tunggal Ika—falsafah yang bersumber dari Kitab Sutasoma, yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu”—yang menjadi fondasi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Sementara dari sudut pandang Islam, kalimat tersebut selaras dengan Surah Al-Ikhlas: 1: “Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa.” 

Perjuangan KH. Wahid Hasyim memasukkan kalimat tersebut tak lepas dari peran dan arahan ayahnya, KH. Hasyim Asy’ari—yang juga merupakan guru sekaligus besan Mbah Bisri Syansuri. Pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) tersebut begitu kukuh memperjuangkan cita-cita untuk menyelaraskan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Memasukkan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” di puncak Pancasila adalah salah satu bentuk komitmen perjuangan tersebut. Maka dari itulah, melestarikan cita-cita Kiai Hasyim merupakan tanggung jawab seluruh warga nahdhiyin, termasuk Mbah Bisri Syansuri—sebagai penerus estafet kepemimpinan tertinggi NU setelah wafatnya KH. Wahab Chasbullah.

Baca Juga :   Refleksi Satu Abad NU (2-Habis): Harus Lebih Konkret dan Kurangi Proposal Kegiatan

Kalimat sila pertama tersebut—juga Pancasila secara keseluruhan—lahir setelah Kiai Hasyim menempuh upaya spiritual yang belum tentu bisa dikerjakan oleh ulama lain. Sebagaimana dikisahkan oleh mubaligh NU, KH. Ahmad Muwafiq atau Gus Muwafiq dalam beberapa forum jamaah, sebelum menyetujui gagasan Pancasila—yang disadur dari Piagam Jakarta—yang dibawa KH. Wahid Hasyim, Kiai Hasyim Asy’ari terlebih dahulu mengerjakan puasa selama tiga hari. Selama masa puasa tersebut, dia mengkhatamkan Al-Qur’an dan membaca Surah Al-Fatihah. Setiap membaca Al-Fatihah, ketika sampai pada ayat “iya kana’ budu waiya kanasta’in”, Kiai Hasyim mengulangnya hingga 350.000 kali. 

Artikel Terkait

Leave a Comment