Ketika tiba di Losari, Achmad Syuhada dan Abdulloh mendapatkan sebidang tanah di daerah delta bagian utara Sungai Brantas. Tanahnya berupa rawa. Karena tanah rawa sulit diolah—baik untuk mendirikan bangunan atau ditanami—Syuhada dan Abdulloh harus bekerja keras terlebih dahulu agar bisa memanfaatkan lahan tersebut.
Setelah bekerja keras selama berbulan-bulan, akhirnya Achmad Syuhada dan adiknya berhasil mengubah tanah rawa itu menjadi pekarangan yang di atasnya bisa didirikan bangunan. Lalu dibangunlah sebuah rumah sederhana dan surau di situ. Mereka juga bercocok tanam di tanah sekitarnya. Hasilnya mereka manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Setelah rumah dan surau berdiri, Syuhada dan Abdulloh pergi ke Kadilangu, Demak—daerah kelahiran mereka—untuk menjenguk dan menjemput keluarganya. Selanjutnya Syuhada kembali ke Desa Losari, Ploso, bersama istrinya; sementara tidak ada catatan atau cerita tentang Abdulloh.
Setelah kembali lagi ke Losari, Ploso, Kiai Syuhada kembali meneruskan perjuangannya dengan jalan berdakwah. Perjuangan berdasarkan semangat cinta tanah air dan ajaran Islam sebagaimana pernah diajarkannya pada pasukan Diponegoro.
Kiai Syuhada memanfaatkan rumah dan surau yang dia bangun bersama adiknya untuk mendidik dan mengajar santri-santrinya. Semua pelajaran yang diberikannya bertujuan untuk menumbuhkan jiwa patriotik dan cinta tanah air. Yang menjadi dasar pengajarannya adalah sabda Nabi Muhammad Saw.: ”Hubbul wathon minal Iman—cinta tanah air adalah bagian dari iman”.
Sarana belajar-mengajar sederhana berupa rumah dan surau kecil itulah yang kemudian dinamakan Pesantren Kedungturi. Pesantren kecil yang hanya dikenal oleh pribumi. Dinamakan Kedungturi karena tanah tempat rumah dan surau itu berdiri merupakan bekas kedung atau rawa dan banyak ditumbuhi pohon turi. Kiai Syuhada juga mengajarkan akhlak dan budi pekerti kepada santri-santrinya—sebagaimana kiai-kiai pesantren pada umumnya.
Dengan formatnya yang sederhana, Pesantren Kedungturi bertahan di tengah kecurigaan polisi-polisi Belanda yang masih memburu sisa-sisa pasukan Diponegoro. Para polisi itu masih acapkali berpatroli di wilayah Losari. Setelah intensitas patroli mulai menurun, nama pesantren sederhana itu mulai dikenal lebih luas. Santri-santri juga berdatangan dari Jawa Tengah, yang merupakan daerah asal Kiai Syuhada.
2 comments
[…] KH. Achmad Syuhada: Kombatan Perang Jawa yang Merawat… […]
[…] KH. Achmad Syuhada: Kombatan Perang Jawa yang Merawat… […]