samudrafakta.com

Jika Nekat Berkampanye Tanpa Cuti, Jokowi Bisa Dipidana dan Timbulkan Efek Domino Politik

JAKARTA—Presiden dan menteri boleh berkampanye dan memihak saat Pemilihan Umum (Pemilu)—sebagaimana pernyataan Presiden Joko Widodo alias Jokowi—ternyata bisa berpotensi terjerat sanksi pidana. Sikap tersebut juga dinilai bakal menyebabkan efek domino yang meluas dan mengancam terselenggaranya Pemilu yang jujur dan adil–terutama apabila ternyata Presiden nekat kampanye tanpa mengambil cuti.

Pernyataan tersebut juga memberikan pekerjaan lebih berat bagi Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu untuk mengawasi jalannya pemilu.

Dosen Hukum Pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini mengingatkan bahwa ada sanksi pidana bila pejabat negara tidak mengambil cuti saat terlibat dalam kampanye Pemilu 2024. Titi juga menyebut ada ancaman pidana bagi pejabat negara yang melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu.

Titi mengatakan seluruh peraturan mengenai larangan Pemilu sudah sangat jelas tertulis dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Untuk itu, ia meminta seluruh pihak menaati aturan dan tidak menyalahgunakan jabatan ataupun fasilitas negara untuk memenangkan pasangan capres-cawapres tertentu.

Baca Juga :   PCNU Tegal Dinilai Tidak Netral, Anggota DPR Tarik Kembali Mobil Sumbangannya

“Kalau seorang presiden tidak ambil cuti kampanye, lalu mengambil tindakan yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu dalam masa kampanye, maka itu tindak pidana,” kata Titi Anggraini dalam diskusi virtual bertajuk “Presiden Berkampanye”, Senin, 29 Januari 2024.

Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu menjelaskan, terdapat beberapa pasal yang mengikat seorang presiden ketika akan berkampanye di Pemilu. Bila melanggarnya, ada hukuman pidana menanti.

“Ada Pasal 547 (UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu), setiap pejabat negara yang dengan sengaja membuat keputusan, dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu dalam masa kampanye dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp36 juta,” jelas Titi.

Hal tersebut, lanjut Titi, berlaku ketika Presiden Jokowi tidak mengambil cuti untuk berkampanye yang berkenaan dengan UU Nomor 7/2017, khususnya Pasal 282, yakni melakukan tindakan yang merugikan atau menguntungkan salah satu peserta Pemilu.

Terkait posisi Presiden yang berkampanye dalam Pemilu, Titi menjelaskan, kampanye tentunya dilaksanakan oleh pelaksana kampanye, yakni pengurus parpol atau gabungan parpol pengusung, maupun orang yang ditunjuk oleh paslon. “Tidak boleh tiba-tiba, gitu ya. Misalnya, kepingin kampanye ujug-ujug langsung jadi jurkam. Tidak boleh,” ujarnya.

Baca Juga :   KPU Sahkan Prabowo-Gibran, Anis-Muhaimin Hadir, Ganjar-Mahfud Absen

Selain itu, kata dia, parpol juga bisa membentuk tim kampanye pasangan Capres Cawapres, tetapi tidak serta-merta orang per orang bisa ikut kampanye, karena ada regulasi teknisnya.

“Berdasarkan regulasi teknis yang ada, karena tidak didaftarkan sebagai pelaksana kampanye sampai dengan H-1 28 November 2023, maka Presiden Jokowi tidak bisa menjadi pelaksana kampanye,” tegasnya.

“Untuk berkampanye, bagi parpol atau paslon manapun, untuk Pemilu 2024 itu dari segi administrasi,” sambungnya.

Kedua, sambung Titi, Presiden dapat ikut menjadi peserta kampanye karena peserta kampanye adalah anggota masyarakat. Tetapi hanya sebagai peserta, bukan sebagai juru kampanye atau pelaksana kampanye.

“Namun harus mengajukan cuti dan tidak menggunakan fasilitas (negara), kecuali pengamanan sebagaimana ketentuan Pasal 281 ayat 1,” pungkas Titi.

Artikel Terkait

Leave a Comment