samudrafakta.com

Jihad Literasi Pesantren Kreatif Baitul Kilmah (1):  Membangun Kecerdasan dan Kemandirian Melalui Jalur “Antimainstream”

Aguk Irawan (berbaju batik) dan santri-santri Yayasan Pondok Pesantren Kreatif Baitul Kilmah dalam sebuah kegiatan. FOTO: Dok. Baitul Kilmah
YOGYAKARTA—Pesantren Kreatif Baitul Kilmah mengemban misi jihad literasi. Upaya membangun kemandirian dan kecerdasan melalui jalur “antimainstream”.

Pesantren Baitul Kilmah  berada di Dukuh Kayen, Desa Sendangsari, Kec. Pajangan, Kab. Bantul, D.I. Yogyakarta. Pesantren ini didirikan oleh KH. Dr. Aguk Irawan, Lc., M.A. bersama Ibu Nyai Dr. Rohinah, S.Pd.I., M.A., pada tahun 2009.

Sebelum resmi menjadi Yayasan Pondok Pesantren Kreatif Baitul Kilmah, institusi ini berangkat dari komunitas penerjemah bernama Sabda. Anggotanya adalah mahasiswa atau calon mahasiswa di beberapa kampus Yogyakarta.

Bersama pasangan Aguk Irawan dan Rohinah, Kamran Asad Irsyadi, dosen Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, dan Didik L. Hariri, penulis buku Jejak Sang Pencerah, 2010, memiliki peran dalam pendirian Sabda.

Spirit literasi para penerjemah di komunitas Sabda bergulir dan membesar bak bola salju. Empat serangkai—Aguk Irawan, Rohinah, Kamran Asad Irsdyadi, dan Didik L. Hariri—pun bersepakat mendirikan Yayasan Pondok Pesantren Kreatif Baitul Kilmah pada 2009.

Pertimbangan utamanya adalah, selain karena anggota komunitas terus bertambah, juga karena makin padatnya kegiatan ilmiah yang diselenggarakan. Sejak saat itu pula mulai dikenal satu filosofi pendidikan yang disebut “Jihad Literasi”, yang cukup viral di zaman sesudahnya.

Baca Juga :   Mengglorifikasi Cinta Tanah Air Tanpa Henti Meski Sering Dianggap Sepi

Pada mulanya Yayasan Baitul Kilmah menyelenggarakan pendidikan informal berbasis komunitas dengan visi misi jihad literasi. Jadwal kegiatan menyesuaikan kondisi para mahasiswa anggotanya supaya tidak terjadi benturan. Kebanyakan agenda atau kegiatan diselenggarakan pada sore dan malam hari.

Materi-materi yang diajarkan bersifat kombinatif. Materi-materi keagamaan, berupa kitab kuning, tidak ditinggalkan—sebagai ciri khas pendidikan Islam pondok pesantren. Namun, materi-materi umum seperti jurnalistik, filsafat, metodologi riset, praktik kepenulisan jauh lebih dominan.

Setidaknya ada dua hal penting dalam proses pembelajaran di Baitul Kilmah. Pertama, pendidikan bukan semata transfer pengetahuan, melainkan kontribusi nyata pada keilmuan melalui karya. Standar minimal profil lulusan adalah memiliki karya tulis.

Ada banyak jenis tulisan yang bisa dipilih, sesuai bakat dan minat masing-masing peserta didik Baitul Kilmah; ilmiah atau fiksi atau keduanya. Karya ilmiah bisa berupa buku populer, laporan riset, atau terjemahan dari bahasa asing (Arab dan Inggris). Karya fiksi bisa berupa puisi, cerpen, dan novel.

Kedua, pembelajaran berbasis pendampingan 24 jam. Mengingat sifat pendidikannya yang informal, pembimbingan yang diberikan juga informal. Dalam artian, kapan pun dan di mana pun, para kiai bisa ditemui oleh para santri untuk mendapatkan bimbingan.

Baca Juga :   Agak Lain namun Inovatif, ‘Ngaji Pasan’ di Baitul Kilmah Membedah Naskah dan Film Sejarah Wali Songo

Dalam konteks wacana pendidikan terbaru dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, apa yang telah dilakukan oleh Baitul Kilmah barangkali bisa disebut sebagai “Merdeka Belajar”. Sementara komunitas Baitul Kilmah kala itu menyebutnya dengan istilah “kultural”. Dua istilah berbeda namun satu substansi.

Artikel Terkait

Leave a Comment