samudrafakta.com

Emas Hijau yang Dirawat oleh Banyak Kebudayaan

Di masyarakat Jawa pedesaan  merokok biasa di sebut dengan ududTentu saja yang dimaksud dengan udud atawa rokok jadul  itu bentuknya bukan seperti saat ini. Dahulu udud bentuknya lintingan daun tembakau (mbako) atau daun jagung yang biasa disebut  klobot.

Para penghisap udud  meracik sendiri rajangan tembakau yang dicampur cengkeh dan acapkali dibubuhi rempah-rempah lain, lalu menggulungnya dengan klobot jagung. Istilah rokok sendiri baru digunakan belakangan, kisaran akhir abad ke-19. Berasal dari bahasa Belanda. yaitu “ro’ken”, pada mulanya racikan ini hanya digunakan untuk menyebut orang mengisap pipa dan cerutu.

Masyarakat lereng Sumbing-Sindoro-Prau mengenal ritual among tebal. Ini adalah satu dari empat ritual masyarakat setempat terkait tembakau. Among tebal ialah upacara menjelang penanaman bibit hari pertama. Ritual ini untuk menghormati dan mengenang orang suci yang dipercaya sebagai orang pertama yang memperkenalkan bibit tembakau: Ki Ageng Makukuhan. Konon, tanaman itu diperoleh Ki Ageng Makukuhan dari Sunan Kudus. Istilah “mbako” dalam bahasa Jawa berasal dari ucapan Ki Makukuhan: “Iki tambaku (Ini obatku)! demikian sabdanya saat mengobati orang sakit. Seketika itu juga si sakit langsung sembuh.

Baca Juga :   Memakmurkan Indonesia dengan Tembakau

Sementara di Madura terdapat folklore yang mengisahkan seorang tokoh bernama Pangeran Katandur.  Karya seni ini terkait dengan sejarah tembakau. Dalam folklore ini muncul Istilah “katandur” yang artinya menanam. Istilah ini diberikan kepada Habib Ahmad Baidlowi, sosok yang kemudian dikenal sebagai cikal bakal penanam tembakau yang dikembangkan di pulau garam sejak abad ke-12.

Di kalangan petani tembakau Madura dikenal ungkapan, “Bertani tiga bulan cukup untuk hidup setahun”. Ada lagi ungkapan, “Jika banyak utang, bertanilah tembakau”. Makanya, orang Madura pun menyebut tembakau sebagai “emas hijau”, karena saking berharganya tanaman ini.

Beberapa komunitas masyarakat adat seperti Sunda Wiwitan Ciptagelar, Bayan (Wetu Telu), dan bukan tak mungkin masih banyak masyarakat adat lainnya yang meyakini tanaman tembakau memiliki nilai dan manfaat yang sangat tinggi. Karena itulah mereka menahbiskan tembakau sebagai bagian dari adat dan kebudayaan.

Tunggu reportase tembakau ke seluruh pelosok Nusantara dalam “EKSPEDISI TEMBAKAU”. Segera!(Tim Samudra Fakta | Wijdan)

Artikel Terkait

Leave a Comment