Dunia Menyorot Krisis Pengangguran di Indonesia: Dijanjikan Hilirisasi, Realitanya Banyak Sarjana Nganggur

Ilustrasi para pencari kerja| Foto: resourcemaximizer
Media asing menyoroti pengangguran muda di Indonesia. Gen Z, bahkan sarjana S3, tak kunjung dapat kerja. Bonus demografi berubah jadi beban di tengah janji besar hilirisasi dan investasi.

__________

Di balik gegap gempita hilirisasi dan masuknya investor asing, ada kenyataan pahit yang tak bisa ditutupi: Indonesia gagal menyediakan pekerjaan bagi jutaan rakyatnya, terutama generasi muda. Ironisnya, yang mengangkat kenyataan ini bukan cuma media dalam negeri, tapi juga media-media asing ternama.

Al Jazeera, misalnya, pada 18 Juli 2025 menerbitkan laporan berjudul Indonesia has 44 million youths. It’s struggling to get them jobs. Judul itu saja sudah cukup menampar. Dalam laporannya, media asal Qatar itu menyoroti bahwa tingkat pengangguran anak muda usia 15–24 tahun di Indonesia telah mencapai 16%. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam.

Masalahnya bukan hanya soal statistik. Ini soal jutaan anak muda yang merasa ditelantarkan setelah menyelesaikan pendidikan. Gen Z Indonesia, menurut survei ISEAS-Yusof Ishak Institute, adalah yang paling pesimistis di antara pemuda-pemudi ASEAN. Mereka kehilangan harapan terhadap pemerintah dan masa depan ekonomi negaranya sendiri.

Bacaan Lainnya

Channel News Asia ikut menyoroti kerusuhan dalam job fair di Bekasi, 27 Mei lalu. Ribuan pencari kerja berdesak-desakan demi secuil peluang. Media Singapura itu menulis, ada 7,28 juta pengangguran di Indonesia per Februari 2025—naik 83.000 dibanding tahun sebelumnya. Tak hanya yang baru lulus kuliah, para korban PHK juga masuk hitungan. Dunia kerja makin menyempit, sementara pencari kerja terus bertambah.

Yang lebih mengenaskan, Mothership dari Singapura melaporkan bahwa ribuan sarjana rela mendaftar sebagai petugas kebersihan. Pada April 2025, ada 8.000 pelamar untuk 1.100 posisi pasukan oranye di Jakarta. Lulusan S1, bahkan S2, antre demi pekerjaan yang paling tidak menjamin upah tetap dan jaminan sosial. Ketika ijazah tak lagi menjanjikan, bertahan hidup menjadi prioritas utama.

Sementara itu, ABC Australia menurunkan tajuk Fury over budget cuts, lack of opportunity sparks debate over ‘escaping’ Indonesia. Dalam laporan tersebut, demografer Ariane Utomo menyebut pasar kerja Indonesia semakin tidak menentu. Anak-anak muda kehilangan akses pada pekerjaan yang memberi makna dan mobilitas sosial.

Data resmi pun membenarkan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), per Februari 2025 ada 1,01 juta lulusan universitas dan pascasarjana yang masih menganggur. Lulusan diploma, SMA, dan SMK pun menyumbang jutaan angka tambahan. Bahkan dari 145 juta angkatan kerja yang sudah bekerja, 3,3 juta sarjana masih terjebak di sektor informal—tanpa upah tetap, tanpa jaminan kesehatan, tanpa kepastian.

Janji-janji besar soal investasi dan hilirisasi kini dipertanyakan. Apalah arti pembangunan jika tak ada pekerjaan untuk rakyatnya? Dunia menyorot, rakyat bersuara. Indonesia sedang diuji: akankah bonus demografi menjadi anugerah, atau justru kutukan?***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *