samudrafakta.com

Dijajah Belanda tapi Masyarakat Indonesia Tak Bisa Bahasa Belanda, Ini Sebabnya

Sejumlah negara bekas jajahan seperti Malaysia dan Singapura memiliki kefasihan bahasa pemerintah kolonialnya dahulu. Kondisi ini berbeda dengan masyarakat Indonesia yang tak diwarisi kefasihan berbahasa asing dari bangsa yang pernah menjajahnya. Namun demikian, bahasa Belanda memiliki pengaruh terhadap bahasa Indonesia, terutama terkait banyaknya kata serapan bahasa Indonesia yang diambil dari bahasa Belanda.

Kata-kata serapan masuk ke dalam bahasa Indonesia melalui empat cara, yakni adopsi, adaptasi, penerjemahan, dan kreasi. Sedangkan bahasa Indonesia sendiri tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) sejak dahulu.

Ada banyak kata serapan dari bahasa Belanda seperti: “apotek (apotheek)”; “nanas (ananas)”; “pabrik (fabriek)”; “handuk (handdoek)”; “engsel (hengsel)”, “arloji (harloge)”, “insinyur (ingenieur)”; dan masih banyak lagi.

Kenapa hanya bahasa serapannya saja yang diterima, sementara bahasa aslinya tidak? Peneliti sejarah dari Nanyang Technological University, Christopher Reinhart, Rabu, 23 Agustus 2023, menjelaskan, itu semua tak lepas dari adanya perbedaan corak kolonialisme Belanda dan negara penjajah lain seperti Inggris di Malaysia. Inggris melakukan invasi kultural Barat ke masyarakat Melayu secara sengaja.

Baca Juga :   Ario Abdillah, Ahli Mesiu Majapahit Penyebar Islam di Palembang

Invasi ini membuat kebudayaan lokal membaur dengan kebudayaan Barat, bahkan ada juga yang hingga menyebabkan budaya aslinya menghilang. Namun, kebijakan inilah yang membuat orang Melayu cukup pandai berbahasa Inggris.

Sedangkan Belanda tidak menerapkan politik itu. Mereka mengambil sikap berbeda terhadap kebudayaan lokal, yang berujung pada rendahnya tingkat kefasihan bahasa Belanda di masyarakat. Ada dua alasan yang mendasari hal tersebut, yakni:

1. Struktur Kolonialisme Belanda

Masyarakat lokal Indonesia saat itu memiliki struktur yang berbeda dengan orang Belanda. Orang Belanda disebut berada di kelas paling atas, sedangkan penduduk lokal memiliki kasta terbawah.

Dalam perspektif orang Belanda, bila mereka menyebarkan kebudayaan, maka sama saja menganggap penduduk lokal setara secara kultural. Karena itulah Belanda memilih menjaga struktur mereka dan tidak membagikan kebudayaan Belanda.

2. Ciri Negara Kolonial

Reinhart menambahkan, Belanda selalu melihat penduduk lokal Indonesia dari perspektif eksploitasi ekonomi sebagai ciri negara kolonial. Jadi, tidak masalah bagi mereka dengan tidak menyebarkan kebudayaan. Yang penting, menurut mereka, adalah melakukan eksploitasi dan memberikan keuntungan secara ekonomi.

Baca Juga :   Republik Indonesia Sedetik Pun Tak Pernah Dijajah!

“Snouck Hurgronje, salah satu pejabat pemerintah kolonial, pernah mengatakan bahwa, ‘Masalah kebudayaan tidak usah dipaksa. Biarlah bertumbuh dengan sendirinya, tanpa menghilangkan budaya lokal’,” ujar Reinhart.

Dua sikap Belanda ini berlangsung dari mulai fase eksploitasi tanam paksa di tahun 1839 hingga pertentangan politik balas budi atau politik etis di tahun 1900-an.

Orang Belanda hanya fokus kepada aspek ekonomi dan tidak mau merusak kebudayaan lokal. Apalagi, pada masa politik etis diterapkan, pada masa itu menginvasi budaya lain dinilai tidak baik.

Meski begitu, bukan berarti penduduk lokal tidak boleh mengadopsi kebudayaan Barat. Karena Belanda sendiri sebenarnya tidak tertutup soal itu dan banyak penduduk juga mengadopsi kebudayaan Belanda.

Walaupun tidak bisa berbahasa Belanda, menurut Reinhart, orang Indonesia seharusnya tidak perlu kecewa. Sebab, bahasa Belanda bukan bahasa pergaulan internasional.

*Foto utama: Salah satu bentuk dialog antara orang-orang Belanda dengan orang Indonesia di masa penjajahan. (Dok. Istimewa)

(Farhan)

Artikel Terkait

Leave a Comment