samudrafakta.com

Bani Abdul Jalil yang Istikamah Merawat ‘Nyadran’

Para anak keturunan Kiai Abdul Jalil tengah persiapan mengikuti tradisi nyadran, Selasa (5/3/2024). (Dok. Keluarga Abdul Jalil)
SEMARANG—Masyarakat Muslim di Jawa biasa menjalankan tradisi nyadran atau sadranan, yaitu tradisi ziarah kubur untuk menyambut Ramadhan. Tradisi ini juga masih dikerjakan secara istikamah oleh Keluarga Besar Ikatan Bani Abdul Jalil.

Kiai Abdul Jalil (1837-1901 M) adalah seorang ulama tarekat Naqsyabandiyah Kholidiyah dari Desa Petak, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang. Dia merupakan salah satu satu kiai tarekat dalam jejaring  Pangeran Diponegoro, yang berpengaruh di wilayah Kabupaten Semarang, Salatiga, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen, Kabupaten Magelang, bahkan sampai Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

Nyadran merupakan tradisi berkunjung ke pemakaman dan membersihkannya. Juga tabur bunga di kuburan para leluhur atau orang tua. Dalam praktiknya, ada yang hanya membersihkan kubur atau besik kuburan; ada juga yang diiringi kenduri, pengajian, tahlilan, shalawatan, sampai pada acara-acara formal lainnya.

Pada Selasa, 4 Maret 2024, trah keturunan Kiai Abdul Jalil mengadakan tradisi nyadran di kompleks pemakaman Pondok Pesantren Al-Huda Petak, Kabupaten Semarang. Acara dihadiri ratusan keturunan Kiai Abdul Jalil, diisi dengan dengan zikir, tahlil, shalawat, dan pembacaan Ayat Suci Al-Quran.

Baca Juga :   Negara-Negara Timur Tengah Diperkirakan Rayakan Idul Fitri pada 21 April 2023

Menurut keturunan ketiga Kiai Abdul Jalil, Muhammad Nazil Iqdami—yang akrab disapa Gus Nazil—Bani Abdul Jalil sengaja merawat tradisi ini karena, bagi mereka, nyadran bukan sekadar peristiwa agama-budaya.

Nyadran juga dipandang sebagai ‘tiket’ untuk menuju ‘kemesraan rohani’ antara manusia, leluhur, dan Allah menjelang bulan Ramadhan,” kata Nazil, selepas acara nyadran, Selasa (5/3/2024).

Sementara itu, menurut pengasuh Pesantren Madrasatul Quran, Susukan, sekaligus keturunan keempat Kiai Abdul Jalil, KH. M. Sulton Kurniawan, tradisi nyadran tetap dijaga karena Nabi Muhammad Saw. mengimbau agar umat Islam bergembira menyambut Ramadhan.

“Nabi Muhammad Saw. mengajak bergembira menyambut Ramadhan melalui hadits, ‘Barang siapa bergembira dengan kehadiran Ramadhan, Allah mengharamkan jasadnya disentuh api neraka’,” terang pria yang akrab dipanggil Gus Sulton tersebut.

“Bagi masyarakat Jawa, nyadran menjadi bagian dari kegembiraan itu. Ungkapan rasa syukur pada Tuhan sekaligus penghormatan pada leluhur dan alam,” imbuh Sulton.

Nyadran, Sulton melanjutkan, menjadi bukti kemesraan rohani manusia dengan Allah, dengan wasilah para leluhur yang sudah meninggal dunia.

Baca Juga :   Refleksi Buya Syakur Yasin: Puasa untuk Orang Mukmin, Bukan 'Sekadar' Islam
Keturunan Kiai Abdul Jalil tengah mengikuti nyadran, Selasa (5/3/2024). (Dok. Keluarga Abdul Jalil)

“Dari sisi bahasa, istilah nyadran diambil dari kata “sraddha”, bahasa Sanskerta yang bermakna ‘keyakinan’,” imbuh Sulton.

Tradisi nyadran, kata Sulton, mengajarkan manusia agar “kon do ndodo, kon do rumongso, kon do iling Sangkan Paraning Dumadi” (disuruh untuk duduk, disuruh untuk bisa merasa, dan disuruh ingat kepada Tuhan Yang Mahaesa). Filosofi merupakan bagian dari Surah Al-Baqarah: 156: inna lillahi wa inna ilaihi raj’un—semua dari Allah dan akan kembali pada Allah.

Nyadran memberikan pelajaran khusus mengenai birrul walidain atau penghormatan kepada kedua orang tua. Bagi yang orang tuanya masih hidup, sebelum Ramadhan dan Lebaran disarankan untuk meminta maaf atau punjungan (berkunjung). Bagi yang kedua orang tuanya sudah meninggal, disarankan bersih kubur, ziarah, mendoakan, yang dalam tradisi di Jawa dirangkai dalam sadranan,” jelas alumni Pesantren An-Nur, Ngrukem, Yogyakarta ini.

Artikel Terkait

Leave a Comment