samudrafakta.com

Sukarno dan Kuliner (1): Menerapkan Politik Pangan sebagai Manifesto Cinta terhadap Kuliner Indonesia

Ada dua warung pecel di Blitar yang diketahui menjadi langganan Bung Karno menyantap pecel, salah satunya adalah warung pecel Mbok Pin di Jl. Ahmad Yani, Blitar. Guntur juga menceritakan, dalam lawatannya ke Mongolia, Sukarno hanya makan roti dengan sambel pecel saja setiap hari. Ini dikarenakan hampir seluruh makanan Mongolia selalu dicampur dengan susu kuda.

Saat berkunjung ke negara-negara di Eropa, Bung Karno seringkali meminta salad tanpa saus,kemudian ia menuangkan bumbu pecel di atas salad tanpa bumbu yang dipesannya. Berangkat dari masalah itulah, Sukarno mengukuhkan sikapnya untuk semakin mencintai masakan Indonesia.

Selain ‘adiktif’ terhadap sambel pecel, Sukarno juga sangat terkenal sebagai pribadi yang unik dalam urusan makanan. Dia terkenal sebagai pribadi yang suka makan dengan tangan; gemar menyantap sambel langsung dari cobeknya; suka minum teh dengan sakarin; tidak suka makan mangga yang sudah dikupas lama dan terkena udara luar; tidak suka makan jengkol dan pete, serta keunikan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Baca Juga :   Dia Susuri Sejarah bersama Kayuh Sepeda

Menurut Roeslan Abdul Gani dalam Mustikarasa, pemikiran Sukarno untuk memanfaatkan makanan sebagai komoditas politik dan alat diplomasi sudah muncul sejak ibu kota RI masih di Yogyakarta. Sukarno mendapatkan inspirasi untuk menjadikan kuliner sebagai komoditas politik dan alat diplomasi saat dirinya mengetahui bahwa makanan menjadi unsur penting karena dinilai memiliki kekuatan magis untuk mempengaruhi keputusan dan persepsi politik.

Bagi Sukarno, bersantap sedap saja tidaklah cukup. Sebagai seorang negarawan dan politikus sejati, Sukarno harus bereksperimen dengan banyak cara agar dapat memenangkan pertarungan politik. Salah satu cara yang ditempuh oleh Sukarno adalah memanfaatkan jamuan makan kenegaraan.

Dalam praktiknya, menururt Roeslan Abdul Gani, Sukarno sering sekali turun tangan untuk menjadi supervisor dalam menyeleksi makanan-makanan apa saja yang harus dihidangkan. Bung Karno selalu memberikan arahan dan perintah untuk menghidangkan menu makanan Indonesia totok, seperti soto, gado-gado, sate, klepon, pukis, lemper, dawet dan aneka menu lainnya.

Misi Sukarno untuk membangun citra politik dan diplomasinya lewat makanan mencapai puncaknya ketika Konferensi Asia-Afrika (KAA) digelar di Bandung pada tahun 1955. Sukarno, yang terkenal anti-kapitalisme dan kolonialisme ini, semakin menunjukkan taji diplomasi kulinernya dengan menyuguhkan beranekaragam produk panganan khas suku Sunda, seperti opak, bandrek, colenak, dan juga sate Madrawi Bandung yang menjadi kesukaan Sukarno.

Baca Juga :   Prediksi-Prediksi Sukarno yang Terbukti (1): Prediksi Tahun Kemerdekaan Indonesia melalui Naskah Tonil dan Perang Asia-Pasifik

Artikel Terkait

Leave a Comment