samudrafakta.com

Sidik

Rasulullah Muhammad Saw. mengajarkan pada kita empat sifat: sidik—atau shiddiq—, amanah, tabligh, dan fatanah. Dalam struktur atau urut-urutan watak Rasulullah Saw.—yang merupakan “Al-Quran hidup” itu—yang nomor satu adalah sidik atau kesungguhan. Semestinya umat Islam mengutamakan sifat itu.

Namun, orang sekarang ini yang dilihat bukan karena sidiknya, tetapi karena hebatnya, pintarnya, berkuasanya, atau kayanya; di mana semua sifat itu tidak diutamakan oleh Rasulullah. Yang diutamakan Rasulullah adalah kesungguhan hidup. Boleh kesungguhan berpikir, boleh kesungguhan cinta, boleh kesungguhan hati, boleh kesungguhan apa pun, pokoknya kesungguhan. Itulah sidik.

Sedekah adalah output dari kesungguhan manusia yang menyadari bahwa ia butuh saling memberi satu sama lain. Maka itulah kenapa upaya itu disebut sedekah atau shadaqah—berasal dari kata “shiddiq” yang berarti “kesungguhan”. Istilah “sedekah” itu satu famili dengan “sidik”. Sifat Rasulullah yang pertama bukan alim, bukan hebat, bukan sakti, tetapi sidik—kesungguhan.

Kelemahan Bangsa Indonesia dan umat Islam sekarang ini adalah soal kesungguhan. Shalat tidak sungguh-sungguh. Azan tidak sungguh-sungguh, tidak mencari kreativitas alunan atau notasi apa yang kira-kira bisa tabligh. Semua serba meniru, serba taklid, serba mukalid, serba membebek. Dalam sastra, itu namanya epigon. Meniru seratus persen. Ya azan, ya qira’ah, nadanya meniru semua.

Baca Juga :   Lailatul Mubarakah dan Lailatul Qadar: Dua Momentum Penuh Berkah Khas Tarekat Shiddiqiyyah di Bulan Ramadhan

Mengerjakan tanggung jawab sebagai pelayan rakyat, apalagi, juga tidak sungguh-sungguh. Kalau kita mau belajar dari Rasulullah, tanda keislaman yang nomor satu adalah sungguh-sungguh. Makan sungguh-sungguh, masak sungguh-sungguh, berkeluarga sungguh-sungguh, apa saja sungguh-sungguh.

Sungguh-sungguh tidak harus tegang. Pelawak yang sungguh-sungguh bukan berarti pelawaknya lantas tidak lucu. Bermain bola sungguh-sungguh bukan berarti harus tegang, tidak bisa bergerak ke kanan-kiri atau mengoper bola. Jadi, tolong, kesungguhan itu dipahami secara tepat. Terutama kesungguhan dalam menjalankan tugas sebagai wakil Allah atau khalifah, maupun sebagai abdullah—hamba Allah.

| Disadur dari ceramah Budayawan Emha Ainun Najib, 2020

Artikel Terkait

Leave a Comment