samudrafakta.com

Relasi Harmonis Tan Malaka – Kiai Hasyim Asy’ari: Membangun Kemandirian Ekonomi hingga Resolusi Jihad

Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dan Tan Malaka. (Dok. SF)
Jumhur sejarah Indonesia mendeskripsikan Ibrahim Datuk Tan Malaka sebagai ‘orang kiri’ yang tak sejalan dengan nilai-nilai Islam pesantren. Deskripsi yang ironis, karena sebenarnya banyak catatan sejarah yang memverifikasi bahwa Tan membina hubungan baik dengan pesantren. Dia menjalin hubungan harmonis dengan Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahid Hasyim.

Soal hubungan harmonis Tan Malaka dengan KH. Wahid Hasyim—ayah KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur—banyak buku yang mengupasnya, namun barangkali jarang dibaca orang. Salah satunya buku karya KH. Saefuddin Zuhri, berjudul Guruku Orang-Orang dari Pesantren (2001).

Sekitar Mei 1945, tulis Saifuddin Zuhri, seorang pemuda Ansor Jakarta bernama Fatoni memberitahunya bahwa seorang petani bernama Husein minta bertemu Wahid Hasyim.

Husein akhirnya bertemu dengan Wahid Hasyim dan berbincang cukup lama. Setelah ‘sang petani’ pergi, Wahid Hasyim memberitahu Saifuddin bahwa sebenarnya dia adalah Tan Malaka, tokoh terkemuka yang memimpin gerakan di bawah tanah melawan Jepang, sekaligus guru Adam Malik dan Chairul Saleh.

Kisah perjumpaan tersebut juga direkam oleh Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (Jilid I) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), halaman 159.

Baca Juga :   Muhaimin Iskandar Mengaku Dikudeta dari PKB dan Punya “Azimat” dari Gus Dur
Buku karya Harry A. Poeze, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jilid 1-5. (Dok. SF)

Kisah pertemanan KH. Wahid Hasyim dengan Tan Malaka ini juga kerap disampaikan oleh Gus Dur dalam berbagai kesempatan. Sebagaimana didokumentasikan suratkabar Duta Masyarakat edisi 28 Januari 2000, Gus Dur, selaku Presiden RI tahun 2000, menceritakan persahabatan ayahnya dengan Tan Malaka di hadapan umat Hindu, saat peringatan Hari Raya Nyepi di Candi Prambanan, Klaten, Jawa Tengah.

Gus Dur bercerita, “Ayah saya, yang kebetulan seorang kiai, sering didatangi orang di waktu sore. Saya ingat betul, saat saya masih kecil, sekitar pukul 7 (malam) ada orang mengetuk pintu. Ketika pintu saya buka, saya tanya; cari siapa, Pak? Tamu yang mengaku bernama Husein tersebut menjawab bahwa dia mencari ayah saya.”

Tamu itu, menurut Gus Dur, seperti orang Indonesia lainnya. Pakai peci juga. Gus Dur, yang masih anak-anak, pun memberitahu ayahnya jika ada Pak Husein mencarinya. Begitu mendengar nama Husein, kata Gus Dur, ayahnya langsung bangun, menemui tamunya, dan keduanya berpelukan.

Setelah itu Wahid Hasyim memerintahkan Gus Dur—waktu itu masih berumur sekitar 4-5 tahun—agar meminta ibunya menata hidangan. Gus Dur kecil tidak pernah tahu siapa sesungguhnya tamu bapaknya tersebut. Baru setelah Gus Dur berumur 50 tahun lebih, ibunya memberitahunya, “Kamu tahu siapa itu Pak Husein, yang datang pada malam-malam dahulu? Itu Tan Malaka”.

Baca Juga :   Sederet Pesan Jokowi di Acara Resepsi 1 Abad NU

Pengalaman di atas, menurut Gus Dur, memberikan bekas yang sangat dalam kepadanya. Menambah kuat keyakinannya bahwa sudah dari dulu pun nenek moyang bangsa Indonesia saling menghargai.  “Bayangkan, Tan Malaka, anggota komintern yang dianggap tidak bertuhan itu, datang berpeluk-pelukan dengan seorang kiai. Inilah Indonesia,” ungkap Gus Dur, dengan nada serius.

Momen serupa juga diabadikan dalam buku Kumpulan Kolom Gus Dur, Kumpulan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser (LKiS, 2002). Dalam buku tersebut, Gus Dur menceritakan bahwa keakraban Tan Malaka dan Wahid Hasyim juga terekam alam Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), kelompok Nahdlatul Ulama (NU) Kiri, di Masyumi era 1945-1950. GPII beraliansi dengan kaum kiri yang dibangun Tan Malaka.

Artikel Terkait

Leave a Comment