samudrafakta.com

Reformasi 1998 (3-Habis): Tragedi Trisakti Tumbal Peluru Tajam Orde Baru

Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatan yang telah didudukinya selama 32 tahun pada 21 Mei 1998. Foto:Elshinta.Com

JAKARTA — Tanggal 12 Mei 1998 menjadi salah satu momen paling memilukan dalam sejarah perjuangan mahasiswa Indonesia. Hari itu, di tengah aksi damai menuntut Presiden Soeharto untuk mundur, empat mahasiswa Universitas Trisakti—Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie—gugur terkena peluru tajam.

Peristiwa tragis ini tidak hanya mencatatkan luka mendalam dalam hati bangsa, tetapi juga menjadi katalis bagi perubahan besar yang kemudian dikenal sebagai Reformasi 98. Indonesia pada awal 1998 tengah bergulat dengan krisis ekonomi yang melanda Asia sepanjang 1997-1999. Ketidakstabilan ini memicu berbagai demonstrasi, termasuk yang dilakukan mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998. Mereka berencana melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung MPR/DPR di Gedung Nusantara untuk menyampaikan aspirasi mereka.

Pagi itu, sekitar 6.000 orang berkumpul di pelataran parkir depan gedung M Universitas Trisakti. Aksi dimulai dengan penurunan bendera setengah tiang, diiringi lagu Indonesia Raya dan mengheningkan cipta sebagai tanda keprihatinan terhadap kondisi bangsa. Orasi dan mimbar bebas berlangsung dengan lancar hingga sekitar pukul 12.30, saat massa mulai bergerak menuju Gedung MPR/DPR.

Baca Juga :   Reformasi 1998 [2]: Peran Besar Universitas Indonesia dalam Mengubah Sejarah

Namun, perjalanan mereka terhenti oleh blokade aparat kepolisian dan militer di depan pintu masuk kantor Wali Kota Jakarta Barat. Dilansir laman Universitas Trisakti, negosiasi pun dilakukan oleh perwakilan mahasiswa, tetapi hasilnya mengecewakan. Long march tidak diizinkan karena dianggap bisa menimbulkan kemacetan dan kerusakan.

Situasi sempat tenang saat mahasiswa melakukan aksi mimbar bebas di jalan. Namun, ketegangan meningkat ketika tambahan pasukan aparat tiba. Pada pukul 16.45, mahasiswa dan aparat sepakat untuk sama-sama mundur. Namun, saat mahasiswa bergerak mundur, provokasi dari seorang oknum memicu kembali ketegangan. Aparat mulai menembakkan peluru dan gas air mata ke arah mahasiswa yang berusaha berlindung di dalam kampus.

Artikel Terkait

Leave a Comment