samudrafakta.com

Pajak untuk Siapa?

Bila ada idiom, “Orang bijak taat pajak” untuk mengajak masyarakat agar tertib membayar pajak, maka pemerintah yang bijak harusnya amanah mengelola pajak itu.

Dunia perpajakan menjadi sorotan publik belakangan setelah muncul indikasi adanya kekayaan tak wajar para pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI. Apalagi setelah Dirjen Pajak Suryo Utomo kedapatan kerap pamer motor gede bersama pegawai DJP lain yang tergabung dalam klub Belasting Rijder DJP, dan mantan Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan II Rafael Alun Trisambodo kedapatan memiliki aset yang nilainya luar biasa—tidak masuk akal jika dibandingkan sumber pendapatannya.

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengendarai moge bersama klubnya (kiri); Mario Dandy Sambodo, anak dari Rafael Alun Trisambodo memamerkan Jeep Rubicon (kanan atas); dan Rafael dalam potongan video permintaan maaf atas kejadian yang melibatkan anaknya (kanan bawah). (Dok. Istimewa)

Publik sebagai pembayar pajak curiga dan kecewa. Sebenarnya kenapa sih masyarakat harus membayar pajak? Sejak kapan pajak mulai dipungut? Apa manfaatnya bagi rakyat? Apakah benar-benar sudah dikelola untuk kesejahteraan negara dan masyarakat?

Sejarah Munculnya Pajak di Indonesia

Pajak secara resmi mulai dipungut di Indonesia ketika masih bernama Hindia Belanda, kala Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan tenement tax atau huistaks pada tahun 1816. Huistaks adalah pungutan untuk sewa lahan tempat berdirinya rumah atau bangunan, atau yang sekarang disebut sebagai Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB.

Belanda menerapkan pungutan ini setelah menerima kembali wilayah Hindia Belanda dari Pemerintah Inggris—yang sempat menduduki wilayah Hindia Belanda sepanjang 1811 – 1816. Ketika Inggris berkuasa, Sir Thomas Stamford Raffles yang ditunjuk sebagai Letnan Gubernur di Jawa mengeluarkan Surat Tanah sebagai Sertifikat Tanah Internasional bagi penduduk setempat. Dokumen itu juga dikenal dengan nama “girik” dalam bahasa Jawa. Sebagai imbal balik dari pengakuan kepemilikan lahan tersebut, Raffles menetapkan pungutan 2,5% dari nilai lahan yang tertera dalam girik.

Baca Juga :   PPATK Sebut Transaksi Rp300 Triliun di Kemenkeu Bukan Korupsi

Setelah Pemerintah Belanda menerima kembali Hindia Belanda dari Inggris pada 19 Agustus 1916, mereka mengatur ulang kebijakan pungutan yang diinisiasi oleh Raffles dengan menetapkan huistaks. Sebelum hustaks diberlakukan, Inspektur Liefrinch Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC mengadakan survei atau penelitian mengenai kepemilikan tanah beradasarkan girik di daerah Parahyangan. Setelah survei, VOC memutuskan memberlakukan pajak pertanahan. Rakyat di wilayah Parahiyan, menurut klaim VOC, setuju atas keputusan perubahan pungutan ini.

Pajak yang ditetapkan Pemerintah Belanda jauh lebih besar dari yang pernah dipungut Inggris. Pemilik girik harus membayar sebesar 80% dari nilai tanah atau hasil lahan yang tertera dalam dokumennya kepada Pemerintah Hindia Belanda, karena VOC—sebagai perwakilan Pemerintah Belanda—mengklaim bahwa tanah di Hindia adalah milik Belanda.

Pembedaan Pungutan

Sampai tahun 1908, ada perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan Eropa. Beberapa jenis pajak hanya diperlakukan kepada orang Eropa, seperti patent duty atau kebijakan hak paten. Di sisi lain, Pemerintah Belanda memberlakukan business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Selain itu, sepanjang tahun 1882 – 1916, juga dikenal adanya poll tax yang dikenakan berdasarkan status pribadi serta pemilikan rumah dan tanah.

Baca Juga :   Cukai Tembakau Termasuk dalam Sumber Pembiayaan Terbesar Ke-3 untuk Pembangunan Nasional

Ordonansi Pajak Pendapatan mulai diberlakukan untuk orang Eropa dan badan-badan yang menjalankan usaha di Hindia Belanda sejak tahun 1908. Aturan ini diterapkan kepada siapa pun, tanpa melihat kebangsaan pemegang saham perusahaan tersebut. Pajak dikenakan kepada barang bergerak dan tak gerak, penghasilan usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun, dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional, mulai dari 1%, 2% dan 3%, yang ditentukan berdasarkan kriteria tertentu.

Pada tahun 1920, dualistik pajak yang membedakan antara pribumi dan nonpribumi dihilangkan. Pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan general income tax melalui pembaharuan Ordonansi Pajak Pendapatan pada tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312). Sejak saat itu, semua pajak berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia, maupun orang Eropa.

Karena semakin banyak perusahaan beridiri di Hindia Belanda, terutama perusahaan perkebunan atau ondememing, maka pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonasi Pajak Perseroan Tahun (Ordonantie op de Vennootschapbelasting). Ini adalah pajak yang dikenakan terhadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama Pajak Perseroan atau PPs.

Baca Juga :   Sri Mulyani Diisukan Bakal Mundur, Begini Awal Mulanya

Pajak perseroan ini diterapkan berbarengan dengan perkembangan penerapan pajak pendapatan di Negeri Belanda. Sebagai konsekuensinya, Ordonansi Pajak Pendapatan 1920 pun direvisi menjadi Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111). Menurut aturan baru ini, pajak juga dikenakan kepada orang pribadi (personal income tax).

Ordonansi ini mulai memperkenalkan asas sumber dan asas domisili dalam penentuan pungutan, di mana pajak pribadi hanya dikenakan kepada penduduk lokal, sementara untuk yang bukan penduduk lokal hanya dikenakan pajak atas penghasilannya di Indonesia.

Seiring makin banyaknya perusahaan-perusahaan yang tumbuh di Hindia Belanda, muncullah gagasan untuk mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan tersebut. Maka dari itu, pada tahun 1935 Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang mewajibkan majikan atau pemilik perusahaan memotong pajak dari upah atau gaji pegawai, dengan tarif progresif mulai dari 0% sampai 15%.

Artikel Terkait

Leave a Comment