samudrafakta.com

KH. Bisri Syansuri (1): Ulama Tegas namun Tawaduk, Tandem KH. Wahab Memimpin NU

Pada 5 Maret 1960 Presiden Sukarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilu 1955, lalu menggantinya dengan DPR Gotong Royong atau DPR-GR. Dasar pembubaran itu adalah Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. DPR dibubarkan karena Presiden Sukarno menganggap parlemen gagal menghasilkan konstitusi baru untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS). Situasi politik sangat kacau kala itu.

Anggotanya DPR-GR ditunjuk langsung oleh Presiden Sukarno. NU pun mendapat tawaran masuk ke parlemen. Merespons tawaran tersebut, Mbah Wahab berpendapat sebaiknya menerima. Dasar pertimbangannya adalah akhofu dhararain atau mengambil yang paling ringan risikonya di tengah situasi politik kala itu.

Memang, menerima tawaran tersebut sebenarnya keputusan yang keliru. Sebab, DPR dibentuk tak sesuai prosedur. Dengan menerima tawaran, berarti NU mendukung pelanggaran konstitusi dalam proses pembentukan DPR. Namun, Mbah Wahab juga berpikir, jika tidak masuk parlemen, itu berbahaya bagi NU dan umat Islam. NU bisa ditinggal dalam banyak hal. Dan NU tidak bisa memperjuangkan suara di parlemen.

Dalam bahasa sederhana, bagi Mbah Wahab, yang penting masuk dulu. Perkara nantinya ternyata tidak cocok, ya, tinggal keluar.

Baca Juga :   Heboh Jual Pulau? Lagu Lama!

Mbah Bisri tak setuju dengan pendapat Mbah Wahab. Mbah Bisri berkukuh tidak mau masuk DPR dengan pertimbangan fikih. Sebab, menurut Mbah Bisri, anggota DPR itu harus dipilih oleh rakyat. Yang berhak menempati kantor parlemen dan digaji adalah anggota DPR yang dipilih rakyat. Ketika seseorang masuk parlemen, sementara rakyat tidak memilihnya, menurut Mbah Bisri, orang itu ghasab—atau mengambil hak orang lain. Karena itulah Mbah Bisri menolaktawaran Sukarno.

Perbedaan pendapat antara Mbah Wahab dan Mbah Bisri ketika itu tidak sampai pada titik temu. Untuk mengatasi kebuntuan tersebut, Mbah Wahab sampai harus melobi Mbah Bisri secara personal.

Mbah Bisri diundang makan malam di Tambak Beras. Menu makan malam itu adalah masakan Mbah Wahab sendiri. Mbah Wahab memang pintar masak.

Rupanya Mbah Bisri sudah tahu tujuan Mbah Wahab mengundangnya makan malam—sampai memasak sendiri hidangannya. Dia tahu Mbah Wahab ingin melobinya agar setuju NU mengirim orang ke DPR bentukan Sukarno. Dia sudah hafal gelagat tandemnya di NU itu.

Baca Juga :   Cak Imin Ragukan Ke-NU-an Khofifah, Gus Yahya Tertawa

Maka, setelah selesai makan, Mbah Bisri memuji lezatnya masakan Mbah Wahab. Tapi, setelah memuji, Mbah Bisri menegaskan bahwa urusan mengirim orang ke DPR, dia tetap pada pendiriannya. Mbah Bisri tidak tetap tidak setuju.

Hingga akhirnya, Mbah Wahab pun terpaksa memutuskan sikap organisasi menggunakan posisinya sebagai Rais ‘Aam. Mbah Wahab memutuskan NU tetap mengirim orang ke DPR—kendati Mbah Bisri tak setuju. Dan itu merupakan keputusan organisasi.

Dalam situasi seperti inilah tampak kematangan sikap dan pola pikir seorang ulama tulen pada diri Mbah Bisri. Ketika organisasi sudah memutuskan sesuatu—kendati sesuatu itu tidak dia setujui secara pribadi—dia tetap menerimanya. Mbah Bisri tidak melakukan gerakan penolakan di dalam. Bahkan putrinya sendiri, Nyai Solihah Munawwaroh—yang juga ibunya Gus Dur—tidak dia larang masuk ke parlemennya Sukarno.

Kendati cara berpikir dan penerapan pemikiran Mbah Wahab dan Mbah Bisri berbeda—terutama dalam ruang diskusi—hubungan keduanya di luar diskusi sangatlah akrab. Mereka saling menghormati dan melayani.

Artikel Terkait

Leave a Comment