samudrafakta.com

Ajax Amsterdam, Simon Tahamata, dan Kenangan Kelam Republik Maluku Selatan

Foto spanduk ucapan terima kasih kepada Simon Tahamata. (Tangkapan Layar Instagram)

Akun Instagram Ajax Amsterdam kebanjiran komentar warganet Indonesia setelah fans klub sepakbola paling sukses di Belanda itu mengunggah foto penghormatan kepada Simon Tahamata, pemain asal Maluku yang menjadi legenda klub, pada Ahad-Senin (3-4/3/2024). Ada nuansa sentimen terhadap gerakan separatisme di Indonesia masa lalu.

Banyak netizen Indonesia yang mengagumi sosok Simon Tamahata, karena merupakan representasi kesuksesan orang Indonesia di Eropa. Namun, ketika melihat latar belakang warna spanduk yang digunakan oleh fans Ajax untuk menulis, “Oom Simon Terima Kasih”, yang identik dengan warna pergerakan Republik Maluku Selatan (RMS)–putih, biru, hijau dan merah–reaksi miring pun berhamburan

Jangan senang dulu, itu warnanya pake warna bendera Republik Maluku Selatan (RMS) yang notabene-nya pada zaman dahulu adalah kelompok separatis. Ternyata mereka masih ada sampai sekarang namun di negara Belanda. Padahal di Maluku sendiri warganya sudah setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tulis pemilik akun Instagram @call_meyo, dikutip dari akun @afcajax, Selasa (5/3/2024).

Baca Juga :   Simon Tahamata, Sepak Bola, dan Generasi Kedua Orang-orang Maluku di Belanda

 

Warna bendera kelompok RMS yang dikibarkan aktivis RMS di depan Sekolah Indonesia di Belanda sesaat setelah upacara hari kemerdekaan RI pada Rabu (17/8/2022). FOTO:Tangkapan Layar CNN Indonesia/Said
Warna bendera kelompok RMS yang dikibarkan aktivis RMS di depan Sekolah Indonesia di Belanda sesaat setelah upacara hari kemerdekaan RI pada Rabu (17/8/2022). (FOTO:Tangkapan Layar CNN Indonesia/Said)

Apalagi Simon sendiri, melalui Instagram Story akun @simontahamata2018, juga mengunggah video yang identik dengan warna pergerakan RMS. Saat menuju lapangan Johan Cruijff Arena–kandang Ajax Amsterdam sekaligus tempat penghormatan diberikan–dia disambut pendukungnya dengan teriakan, “mena muria!” sambil memukul tifa. Pendukung Simon juga membentangkan bendera yang mirip dengan bendera RMS.

Mena muria” adalah sebuah idiom yang biasa digunakan oleh masyarakat Maluku. Mena berarti “di depan”, sedangkan muria berarti “di belakang.” Mena muria pun dipahami berbeda-beda sesuai dengan konteks dan situasi.

Idiom tersebut telah ada sejak lama dalam kehidupan orang Maluku dan sering digunakan dalam acara seremonial adat. Mena muria juga pernah digunakan sebagai simbol perjuangan RMS.

Sejarah Kelam Separatisme di Maluku Selatan

RMS, sebagaimana dilansir artikel yang ditulis Yety Rochwulaningsih,  dimuat dalam laman ESI Kemdikbud, adalah salah satu gerakan separatisme di Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaan empat bulan setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, tepatnya pada 25 April 1950.

Baca Juga :   Simon Tahamata, Sepak Bola, dan Generasi Kedua Orang-orang Maluku di Belanda

Gerakan separatisme ini dilakukan oleh sebagian komponen bangsa Indonesia di wilayah Maluku Selatan yang bertujuan untuk memisahkan diri dari pemerintahan yang sah, atau melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kekuatan utama dibalik pendirian RMS adalah para politisi bekas pejabat Negara Indonesia Timur (NIT) dan mantan perwira Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL).

NIT semula merupakan salah satu Negara Bagian Republik Indonesia Serikat (RIS), yang proses pendirian atau pembentukannya disponsori oleh Gubernur Jenderal Belanda Van Mook sebagai pemimpin tertinggi Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di Indonesia–setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.  Gerakan RMS dilakukan oleh tokoh-tokoh  NIT, di bawah kepemimpinan Ir. J. A. Manumasa, Mr. Dr. Chr. Soumokil, sekelompok raja, serta pejabat lokal, termasuk Kepala Daerah Maluku Selatan J.H. Manuhutu (Chouvel 1990: 21).

Artikel Terkait

Leave a Comment